News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Wisata Kalsel

Menengok Rumah Adat Bangsawan Banjar Berbahan Ulin, Berusia 204 Tahun

Editor: Mohamad Yoenus
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tempat tidur di rumah adat Banjar, Bubungan Tinggi, di Jalan Martapura Lama nomor 28 RT 4, Desa Teluk Selong Ulu, Kecamatan Martapura Barat, Kota Martapura, Kabupaten Banjar.

Laporan Wartawan Banjarmasin Post, Yayu Fathilal

Laporan Wartawan Banjarmasin Post/Yayu Fathilal

TRIBUNNEWS.COM, MARTAPURA - Suku Banjar memiliki 11 tipe rumah adat yang sekarang sudah banyak yang punah.

Di antaranya adalah tipe Bubungan Tinggi dan Gajah Baliku.

Khusus untuk tipe Bubungan Tinggi sebenarnya masih banyak karena dijadikan arsitektur gedung-gedung instansi pemerintahan, seperti kantor gubernur, kantor wali kota, dan sebagainya di Kalimantan Selatan, namun rata-rata berbahan semen.

Sementara yang benar-benar asli berbahan kayu ulin sudah sangat langka.

Walau begitu, masyarakat maupun turis yang penasaran dengan rumah adat ini dan ingin mengeksplorasi lebih mendalam tentang interior tradisionalnya, bisa berkunjung ke situs cagar budaya Rumah Adat Banjar Teluk Selong Ulu di Jalan Martapura Lama nomor 28 RT 4, Desa Teluk Selong Ulu, Kecamatan Martapura Barat, Kota Martapura, Kabupaten Banjar.

Di lokasi ini, ada dua tipe rumah adat Banjar, yaitu Bubungan Tinggi dan Gajah Baliku.

Kedua rumah ini masih dihuni pemiliknya dan masih tampak terawat dengan baik kendati usianya sudah ratusan tahun.

Kedua rumah ini pun dilindungi oleh Undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya.

Para pemiliknya membuka waktu operasional kunjungan wisatawan tiap harinya, sehingga siapa saja bisa bebas berkunjung dan melihat-lihat seperti apa sejatinya rumah adat Banjar ini, yaitu dari pukul 10.00 Wita hingga 17.00 Wita.


Tempat tidur di rumah adat Banjar Bubungan Tinggi. (Banjarmasin Post/Yayu Fathilal)
Pemiliknya juga bisa menjelaskan apa saja bagian dari rumah tersebut yang mengandung unsur tradisional Banjar ke para turis.

Rumah Banjar Bubungan Tinggi yang ada di lokasi ini bertipe rumah panggung.

Menurut sejarahnya, dibangun oleh pemilik awalnya, yaitu sepasang suami istri HM Arif dan Hj Fatimah pada 1811.

Jadi, sekarang rumah itu sudah berusia 204 tahun dan masih tampak kokoh tanpa kerusakan yang berarti.

Keseluruhannya masih murni berbahan kayu ulin.

Sekarang, rumah ini dihuni oleh salah satu keturunan HM Arif dan Hj Fatimah, yaitu Fauziah.

Interior rumah ini tampak sangat tradisional.


Rumah adat Banjar Bubungan Tinggi. (Banjarmasin Post/Yayu Fathilal)

Tak hanya bagian terasnya, tangganya, pagarnya, pintunya, watun atau kayu pembatas di bagian bawah di tiap pintunya yang masih murni tradisional, namun hingga bagian dapurnya pun masih sangat klasik Banjar.

Di dapurnya, Fauziah masih memakai padapuran atau tempat memasak khas Banjar lengkap dengan tungku dan kayu bakarnya.

Walau di sana juga ada kompor gas, namun tetap saja unsur tradisionalnya masih sangat kental.

Ukiran-ukirannya pun masih tampak bagus. Seperti yang tampak di sekeliling pintu tengahnya, penuh dengan ukiran klasik Banjar.

Bagian jendela atau lalungkangnya juga sangat khas rumah Bubungan Tinggi, yaitu ada jerujinya yang berjumlah 13 bilah di bagian dalam dan dua daun jendela di bagian luarnya.

Di bagian tengah rumah, ada dua buah kaguringan atau tempat tidur lengkap dengan kelambunya yang tampak cantik.

Di samping kedua tempat tidur ini, ada perabotan berbahan kayu panjang yang digantungkan ke atap menggunakan besi dan bisa diayunkan.

Di sepanjang kayu itu dipasangi kain berwarna-warni. Sekilas tampak seperti kipas besar dan klasik, namun ternyata itu bukan kipas melainkan semacam tempat menggantung baju bagi pengantin baru.

"Orang Banjar menyebutnya tantaran, buat tempat menggantungkan atau menjemur baju. Bagi pengantin baru, biasanya tidur di ranjang yang berhias seperti ini, nanti baju mereka digantungkan di tantaran ini," ujarnya.

Di bagian lain ruangan ini, ada beberapa lemari tua dan meja yang memajang berbagai benda tradisional khas Banjar peninggalan HM Arif.


Benda-benda tradisional khas Banjar. (Banjarmasin Post/Yayu Fathilal) 

Ada beberapa buah pajangan berupa baskom kuningan, tempat menginang atau panginangan, piring dan mangkok malawin serta koper besi.

Di bagian lain, juga ada tajau atau guci khas Banjar dan cermin tua.

Sementara di bagian depan dekat pintu masuk, ada kios kecil tempatnya menjual berbagai cinderamata khas Banjar.

Ada berbagai batu berharga seperti safir, kecubung, akik, dan red borneo yang dijualnya antara Rp 50.000 hingga Rp 100.000.

Ada juga kaus Banjar seharga Rp 50.000 hingga Rp 60.000, tas bermotif arguci khas Banjar dijualnya Rp 50.000 hingga Rp 60.000, tempat tisu berbahan kain sasirangan Rp 25.000, dompet manik Rp 15.000, dan berbagai minuman ringan.

Di dekat kios kecil ini juga ada foto-foto keluarga penghuninya dan silsilah keturunan mereka.

Rumah bertipe ini, dalam adat Banjar biasanya dihuni oleh orang-orang terpandang seperti bangsawan atau saudagar kaya.

Seperti HM Arif, sang pemilik awal rumah ini, dulu adalah seorang saudagar kaya di kampungnya ini.

Dulu dia pedagang berlian yang berniaga hingga ke Singapura, India, dan Jerman.

Tak heran jika kemudian dia bisa memiliki rumah bertipe ini.


Rumah adat Banjar Bubungan Tinggi. (Banjarmasin Post/Yayu Fathilal)

Rumah adat ini masih satu halaman dengan rumah adat yang satu lagi, yaitu Gajah Baliku.

Posisinya berbelakangan saja, dengan rumah Gajah Baliku di bagian depan.

Pemilik rumah adat Gajah Baliku ini juga masih keturunan HM Arif dan Hj Fatimah, yaitu keponakan Fauziah.

Sayangnya, saat BPost ke sana, rumah itu sedang kosong ditinggal penghuninya mudik Lebaran ke Kalimantan Tengah sehingga tak bisa ikut melihat-lihat ke dalamnya.

Pun dengan beberapa turis yang sedang berkunjung kala itu.


Rumah adat Gajah Baliku. (Banjarmasin Post/Yayu Fathilal)

Seorang pengunjung, Fahrozi dari Solo, Jawa Tengah mengaku senang bisa ke lokasi rumah adat Banjar ini.

Sebagai orang Jawa, dia jadi lebih mengetahui seperti apa rumah adat Banjar, khususnya yang bertipe Bubungan Tinggi.

Pengunjung lainnya, Ning Maslihah juga dari Solo, tampak terpesona dengan perabotan bernama tantaran di dekat tempat tidur tadi.

"Jadi tahu saja itu apa, ternyata buat tempat menggantungkan baju bagi pengantin barunya orang Banjar ya," katanya.

Budiman dari Martapura, baru kali pertama ke rumah adat ini.

Walau rumahnya dekat dengan lokasi ini, dia mengaku baru mengetahui secara detil interior rumah adat Banjar ini saat berkunjung kemari.

"Kalau rumah Bubungan Tinggi saya sudah tahu dari dulu, tetapi untuk detil ruangannya seperti apa, bentuk dapurnya, ruang tamunya, ranjang pengantinnya, dan sebagainya, baru tahu sekarang," ujarnya.

Rumah-rumah adat Banjar ini sangat dikenal di Kabupaten Banjar.

Tak susah mencarinya, karena lokasi ini dijadikan tujuan wisata oleh Pemerintah Kabupaten Banjar dan posisinya pun di tepi jalan.

Kedua rumah ini tampak mencolok perbedaannya karena dipagari kayu ulin dan halamannya disemen.

Sekilas tampak seperti museum, namun sebenarnya rumah adat yang masih didiami penghuninya.

Kondisinya, walau terawat, namun ketika memasuki area halamannya, pengunjung harus berhati-hati, sebab jalannya ada yang rusak dan berlubang.

Beberapa bagian pagarnya pun ada yang hilang dan patah.


Pintu masuk ke rumah adat Banjar. (Banjarmasin Post/Yayu Fathilal)

Masuk ke lokasi wisata ini gratis. Pengunjung juga tak dipungut biaya parkir.

Pemiliknya hanya menyediakan sebuah kotak sumbangan di bagian depan rumah bagi pengunjung yang ingin menyumbang uang secara sukarela untuk perawatan rumah tua ini.

Jika ingin kemari dari Banjarmasin harus berkendara sekitar satu jam lewat Jalan Veteran, terus ke perempatan Jalan Gubernur Syarkawi, lurus saja masuk ke Jalan Martapura Lama.

Jarak tempuhnya dari Banjarmasin ke lokasi ini sekitar 20-25 kilometer.

Jika Anda dari Martapura atau Banjarbaru bisa lebih dekat dengan waktu tempuh antara 30-40 menit saja dengan kendaraan pribadi.

Tak ada jalur angkutan kota di sini, maklum saja karena lokasinya di pedesaan, bukan di pusat kotanya.

Jika ingin memakai jasa kendaraan umum, bisa menggunakan ojek.

Dari pusat Kota Martapura, misalnya dari Pertokoan Cahaya Bumi Selamat (CBS) di Jalan Ahmad Yani kemari sekitar 30 menit dengan tarif hanya Rp 10.000 sekali jalan.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini