News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Wisata Jakarta

Si Pitung, Legenda Betawi dan Kisah Rumah Terakhir di Marunda

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rumah Pitung di Marunda.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hampir seluruh warga Jakarta pastinya mengenal tokoh legenda Betawi yang namanya sudah tidak asing lagi yaitu Si Pitung.

Pendekar pencak silat Betawi ini merupakan sosok dengan jiwa sosial tinggi sebab seringkali membela kaum kalangan yang tertindas.

Di Jalan Kampung Marunda Pulo, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara adalah tempat singgah terakhir Si Pitung setelah melanglang buana.


Rumah Pitung di Marunda. (Tribunnews/Reynas)

Nah, di tempat inilah, Anda bisa melihat wujud rumah panggung yang dikabarkan milik mitra Si Pitung, Haji Safiudin, seorang bandar perdagangan ikan.

"Rumah Si Pitung ini adalah milik Haji Safiudin yang merupakan rekanannya, tetapi karena Pitung sering singgah di sini maka lahirlah Rumah Si Pitung," ujar seorang penjaga Rumah Si Pitung, Bang Farhan kepada Tribun Travel, Kamis (30/7/2015).

Rumah Si Pitung terlihat sudah mengalami renovasi terutama pada bagian fondasinya manakala terkikis oleh zaman.

"Kondisi bagunan tidak lagi orisinil sebab umurnya yang sudah tua, hanya secara model masih tetap sama," katanya.

Melongok bagian beranda depan rumah Si Pitung Anda harus menaiki sekitar 15 buah anak tangga dari sisi utara.

Begitu melihat beranda depan atau teras seketika nuansa khas Betawi langsung terasa tatkala terdapat manekin memakai pakaian pencak silat Betawi.

Melangkah ke dalam ada ruang tamu berukuran lebih kurang 2x2,5 meter yang di mana terdapat lukisan kanvas.

Bergeser ke arah utara terdapat kamar tidur berserta kasurnya yang masih orisinil ditambah pernak pernik lampu serta meja rias.

Adapun ruang makan dan dapurnya mengarah ke beranda belakang yang luas cukup besar atau bisa disebut ruangan tengah.

Selain itu, ada alat musik koleksi budayawan Betawi, Ridwan Saidi yang diletakkan di ruang tengah Rumah Si Pitung.

"Ada juga koleksi babeh Ridwan Saidi beupa alat musik khas Betawi hadroh (gendang/rebana)," ucap Farhan menambahkan.

Kisah Hidup Si Pitung

Pitung lahir pada tahun 1866 di Tangerang, ibu kandung Pitung berasal dari Rawa Belong, Jakarta Barat, sedang ayahnya berasal dari kampung Cikoneng, Tangerang.

Saat menginjak usia delapan tahun Pitung merasakan kehidupan yang amat pahit. Kedua orang tuanya harus berpisah.

Ibunya menolak untuk dijadikan istri tua. Tak ayal, Pitung bersama ibunya pun kembali ke kampung Rawa Belong.

Di Rawa Belong, Pitung berprofesi sebagai pengembala kambing milik kakeknya. Usai berumur 14 tahun Pitung kemudian dipercaya menjual kambing di pasar Kebayoran, Jakarta Selatan.

Singkat cerita, ketika hendak kembali dari pasar menjual kambing, Pitung dirampok hingga hasil jualannya ludes. Ia lalu tak berani pulang lantaran takut dimarahi sang kakek dan ibunya.

Sejak itulah Pitung mengembara dengan dendam yang amat sangat membara demi mencari jati diri.

Dalam pengembaraannya, Pitung berlabuh di kampung Kemayoran, di mana ia berkenalan dengan Guru Na'ipin, ahli tarekat yang pandai ilmu bela diri pencak silat.

Guru Nai'pin merupakan murid daripada Guru Cit seorang mursyid, guru tarekat dari kampung Pecenongan, Jakarta Pusat.

Pitung menghabiskan waktu sekitar enam tahun untuk berguru pada Guru Na'ipin sampai ilmunya terbilang mumpuni.

Guru Na'ipin bersahabat dengan Mohammad Bakir, pengarang terkemuka Betawi pada akhir abad XIX.

Karya-karyanya telah tersimpan di sejumlah museum dunia antara lain St. Petersburg, Rusia, London, dan negeri kincir angin, Belanda.

Mulai dari titik inilah muncul gagasan pemberontakan dan perlawanan terhadap Belanda disepanjang abad XIX dan permulaan abad XX di mana Indonesia tengah dijajah.

Pitung membangun jaringan pasukan Jembatan Lima, Jakarta Barat yang dipimpin oleh Cing Sa'dullah.

Aksi Tidak Berkomplotan

Setiap menjalankan aksi perampokan, Si Pitung tidak membangun komplotan, melainkan kompak berdua dengan sepupunya yaitu Ji'in yang kemudian di hukum mati.

Pitung bekerja sendiri hingga membuat polisi Belanda sulit melacak informasi mengenai keberadaannya.

Rumah Si Pitung yang berlokasi di Marunda ini sesungguhnya adalah rumah Haji Safiudin seorang bandar perdagangan ikan di kawasan utara Jakarta.

Menurut kabar, Pitung merampok rumah Haji Safiudin hingga rumahnya diakui milik Pitung, tetapi muncul kabar versi kedua bahwasanya Safiudin dan Pitung melakukan kesepakatan.

Perginya Uang Hasil Rampokan


Pitung tak pernah menikmati hasil rampokannya usai beraksi, ia pun tidak pernah beristri lantaran statusnya sebagai buronan yang membuat tidak dapat menetap di suatu tempat.

Pitung bukan penjudi atau pemabuk, ia hanya penganut tarekat dan dapat menulis dalam aksara Melayu dan juga Arab.

Akhir Riwayat Si Pitung


Dan mulai saat itu, Pitung kerap berkunjung ke rumah Haji Safiudin yang kemudian terkenal dengan nama rumah Si Pitung.

Namun karena seringkali tinggal di sana, keberadaan Pitung akhirnya tercium oleh mata-mata Belanda saat itu.

Pitung selalu muncul dari Pondok Kopi, Jakarta Timur jika hendak berangkat ke Marunda, kediaman Haji Safiudin.

Pada suatu petang, pemimpin polisi Batavia, Schout Hijne dengan kekuatan penuh satu regu bersenjata lengkap menanti kehadiran Pitung di Pondok Kopi.

Ketika mulai gelap, Pitung lantas muncul dan langsung dihujani timah peluru yang bersarang disekujur di tubuhnya.

Pitung tergeletak, tetapi ia tak langsung tewas. Pitung sempat dilarikan ke rumah sakit militer yang kini bernama RSPAD, Jakarta Pusat menggunakan sebuah ambulans.

Menurut Margriet van Teel, dalam perjalanan menuju rumah sakit, Pitung terus menyanyikan lagu Nina Bobo hingga membuat Schout, menegurnya tegas.

Pitung kemudan meninggal dunia di usianya yang baru 28 tahun. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini