Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Sejak diresmikan pada September 2013, Pasar Atjeh Baru menjelma menjadi pusat busana muslim kekinian.
Bangunan tiga lantai ini terletak di sisi Jalan Diponegoro di jantung Kota Banda Aceh. Terhubung dengan saudaranya, Pasar Atjeh Lama yang tepat menempel di samping Masjid Raya Baiturrahman.
Lokasi yang strategis, kenyamanan berbelanja yang ditawarkan serta terutama komoditi menempatkan Pasar Atjeh Baru sebagai ‘kiblat’ belanja busana muslim oleh warga lokal, pun wisatawan yang melancong.
Produk andalan
Libur sekolah dan hari raya menjadi saat-saat pasar tradisional ini dibanjiri pembeli yang datang tumpah ruah dari berbagai pelosok daerah maupun dari mancanegara.
Pasar Atjeh Baru, Jalan Diponegoro, Banda Aceh. (Serambi Indonesia/Nurul Hayati)
Kota Banda Aceh yang ditasbihkan sebagai ‘world islamic tourims’ menjadikan wisata reliji sebagai destinasi wisata andalan.
Kebijakan itu memburat dalam wisata belanja yang ditawarkan.
Para pedagang di Pasar Aceh Baru kebanyakan memasok produk fashion muslim dari Pasar Tanah Abang, Jakarta yang dikenal sebagai pasar reseller tanah air.
Sebagiannya lagi diimpor dari Korea dan Thailand. Mengikuti tren busana K-Pop yang sedang mewabahi dunia dan banyak digandrungi kawula muda.
Busana muslim di Pasar Atjeh Baru, Jalan Diponegoro, Banda Aceh. (Serambi Indonesia/Nurul Hayati)
“Di sini memang andalannya ya pakaian jadi. Kalau pembeli dari lokal kebanyakan belanja baju, kalau wisatawan terutama dari Malaysia mengincar mukena dan jilbab," ujar Hani, pedagang yang mangkal di Lantai 2 Pasar Atjeh Baru.
"Mereka suka karena menurut mereka bahannya lebih bagus di sini ketimbang di negaranya,” kata Hani.
Fasilitas
Meskipun berlabel pasar tradisional, namun wajah Pasar Atjeh Baru terlihat modern dari segi fisik dan fasilitas di dalamnya.
Pasar tiga lantai ini dilengkapi dengan full AC dan ATM. Untuk menghubungkan ketiga lantai selain tangga, terdapat juga eskalator, dan lift.
Selain area parkir di luar, terdapat juga parkir di basement. Tak ketinggalan kedai makanan dan minuman, serta toilet dan musala yang bersih lagi nyaman.
Demi kenyamanan pengunjung, pasar yang diresmikan langsung oleh Menteri Perdagangan Indonesia kala itu, Gita Wirjawan terasa ramah gender dengan keberadaan ruang menyusui.
Lantai 1 dijejali dengan aneka pernak pernik fashion mulai dari jilbab, sepatu, aksesoris, dan tentu saja baju. Baik yang terdapat di dalam kios-kios pedagang maupun yang menggelar lapak di tengah tribun.
Naik ke lantai dua komoditasnya hampir serupa namun selain baju perempuan dewasa terdapat juga baju anak-anak serta pakaian untuk pria.
Sementara para pedagang di lantai 3 menawarkan produk yang lebih berkelas. Deretan butik dan galeri mengapit sepanjang sisi lantai atas.
Harga yang dipasang pun berbanding lurus dengan kualitas produk yang ditawarkan.
Sebagaimana layaknya sistem pasar tradisional yang menerapkan harga nego, untuk membawa pulang sepotong fashion item atau menentengnya sebagai oleh-oleh cukup merogoh kocek mulai Rp 10 ribu hingga ratusan ribu saja.
Geliat fashion muslim
Geliat fashion muslim tanah air mewabah dan menjalar dengan cepat, tak terkecuali di Aceh.
Sebagai provinsi berjuluk Serambi Mekkah, Aceh menerapkan Syariat Islam yang ketat, termasuk dalam tata cara berbusana.
Tak heran kalau lantas Pasar Atjeh Baru yang buka dari pukul 09.00 WIB-18.00 WIB kerab disesaki warga lokal yang mayoritas muslim.
Pun ‘world islamic tourism’ yang telah disematkan dan mengusung wisata reliji sebagai program wisata unggulan menjadikan pasar tradisional terbesar di Aceh ini sebagai destinasi wisata belanja ‘wajib’.
Aceh adalah miniatur penduduk Indonesia sebagai komunitas muslim terbesar dunia.
Menengok gairah Pasar Atjeh Baru, tak berlebihan rasanya kalau Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menggadang-gadangkan Indonesia sebagai kiblat fashion muslim dunia. Happy shopping. (*)