TRIBUNNEWS.COM, LAMPUNG - Lampung dikenal sebagai provinsi yang memiliki garis pantai panjang.
Keindahannya pun tak perlu diragukan.
Sunset di depan hotel. (Naked-traveler.com)
Wisatawan lokal dan dari luar daerah telah memiliki kesan tersendiri usai perjalanan mereka di pantai pantai Lampung.
Seperti berikut ini, Trinity, penulis buku The Naked Traveler yang menyisakan sedikit kenangannya usai berkunjung di pantai Lampung.
Selain memuji keindahan yang dimiliki alam Lampung, ia juga mempunyai catatan kecil untuk pesona pantai Lampung.
Apa itu? Berikut tulisan Trinity seperti dikuti dari blog pribadinya.
Pada akhir Juni 2015 sahabat saya, Pepita, ujug-ujug mengajak saya berlibur ke Lampung bersama kedua anaknya; Cia dan Cio.
Semua sudah di-arrange jadi saya tinggal bawa baju aja, begitu promosinya.
Kami akan menginap di sebuah resort di tepi pantai Kalianda.
Sampah berserakan di tepi pantai. (naked-traveler.com)
Mendengar kata “pantai”, saya langsung oke! Apalagi pas awal bulan puasa, jadi bakal sepi.
Dari bandara Radin Inten II naik mobil sewaan memakan waktu 2 jam.
Memasuki kota Kalianda kami sempat nyasar karena peta di situs hotel sangat disederhanakan, dan Google Maps pun tidak mampu memberikan petunjuk.
Herannya, hanya berjarak 5 menit dari kantor Bupati (yang muka bupatinya selalu ada di setiap billboard apapun) jalannya rusak parah. 20 menit teruncal-uncal kemudian kami tiba di hotel.
Dan… saya kaget karena hotel dan kompleksnya jauh berbeda dengan foto yang ada di situsnya! Bangunannya tampak tua dan kusam, pasir pantainya sudah tidak putih lagi.
Ketika sampai di bibir pantainya di depan hotel, saya kaget lagi.
Pantainya banyak sampah dan ombaknya besar banget – bahkan ada plang bertuliskan “Kawasan Dilarang Mandi ”. Waduh, gimana mau berenang?
“Oh situs itu dibikin tahun 2005, terus password-nya hilang, jadi nggak bisa di-update,” kata manager hotel.
Ada dua kabar gembira. Pertama, kami adalah satu-satunya tamu yang menginap di hotel. Kedua, sunset-nya keren!
Keindahan pantai Lampung. (naked-traveler.com)
Keesokan hari, Pepita sekeluarga berwisata ke Way Kambas, tapi saya memilih untuk berenang di pantai.
Saya bertanya ke resepsionis di mana berenang yang aman.
Mereka mengatakan bahwa saya harus berjalan ke pantai paling kanan dekat batu-batu.
Saya pun ke sana, tapi berenangnya hanya bisa kecibak-kecibuk doang karena airnya dangkal dan banyak batu.
Selanjutnya saya berjemur matahari beralas sarung Bali sambil baca buku… sampai ketika saya sadar bahwa ada seorang pria sedang merokok duduk di atas batu ngeliatin saya!
Duh, males banget kan? Saya berpindah posisi dan ngumpet di balik batu lain, eh dia masih di situ. That’s it. Saya pun balik ke kamar.
Saat jam makan siang saya ke resepsion untuk memesan makanan, sayang, restoran di hotel itu ternyata tutup.
Lalu saya menitip kepada petugas hotel untuk dibelikan makanan.
Namun mereka bilang, warung sekitar juga tutup karena bulan puasa.
Untungnya Pak Manager hotel berbaik hati mengantarkan saya naik mobilnya cari makan.
Setelah keliling-keliling Kota Kalianda, tak satupun tempat makan yang buka!
Si Bapak kemudian mengarahkan mobilnya ke Jalan Trans Sumatra ke arah Bakauheni.
Sepanjang jalan memang banyak restoran Padang, tapi kata si Bapak males bareng supir-supir truk.
Sekitar 20 menit kemudian, kami sampai di sebuah restoran Padang ber-AC yang parkirannya berisi mobil-mobil pribadi.
Waktu menunjukkan pukul 14.00, saya pun kalap menghabiskan 3 piring nasi plus lauk pauk yang berjibun.
Hari berikutnya agenda kami adalah island hopping seharian. Pepita sudah membayar trip ini sebesar Rp 1,7 juta termasuk sewa mobil dan kapal. Gila mahalnya!
Tapi ya sudahlah, sudah dibayar ini. Kami naik mobil sejam menuju Pantai Pasir Putih, tempat kapal bersandar. Begitu kapalnya datang, lagi-lagi saya kaget.
Kapalnya kecil banget dan hanya memiliki mesin tempel 25 PK! Buset, ini sih harganya digetok! Saking imutnya kapal ini, ke Pulau Pahawang aja memakan waktu 1,5 jam!
Untungnya Pulau Pahawang bagus. Pasirnya putih meski ada sampah plastik juga, tapi airnya tenang.
Kami pun berenang sampai jam makan siang. Saya mengusulkan kepada tukang kapal untuk cari makan di pulau lain sekalian berenang lagi.
Alih-alih mengiyakan, si bapak justru bilang, “Perjanjiannya kami cuma mengantar ke Pahawang saja. Kalau mau ke pulau-pulau lain tambah Rp 400.000,"
Ia beralasan, jaraknya jauh. Padahal pulau-pulau itu juga kita lalui.
Minta diskon nggak dikasih, saya tidak punya pilihan. Itung-itung membantu perekonomian lokal, ya sudah lah.
Pulau kedua adalah Kelagian Lunik yang ada satu warung jualan mi instan cup dan kopi instan. Setelah makan, kami berenang lagi.
Pulau ini cakep banget! Dikelilingi pulau lain yang berbukit dengan air tenang bergradasi biru.
Pasirnya pun jauh lebih bersih. Ketika kapal kami pergi, saya ditagih karcis tanda masuk sebesar Rp 25.000,- Saya membayar dengan berpesan agar pulau ini dijaga kebersihannya.
Pulau ketiga adalah ke sebuah pulau gosong atau sandbar yang saya lihat dari hasil browsing.
Saat perjalanan pulang, ombak meninggi. Kami semua basah kuyup diterjang air laut!
Merasa “dirampok”, besoknya kami memilih leyeh-leyeh aja di pantai dekat hotel.
Kesimpulannya, saya sebetulnya cukup senang berlibur di pantai Lampung, apalagi jaraknya dekat dari Jakarta.
Hanya saya, sebagai wisatawan, saya berharap pantai-pantai tersebut dijaga kebersihannya.
Sumber: http://naked-traveler.com/
Penulis: Trinity