Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, ACEH – Hiburan rakyat berupa atraksi budaya ditunggu banyak orang di negeri ini.
Salah satu di antara tradisi budaya Aceh adalah permainan layang-layang atau dalam bahasa lokal disebut ‘adu geulayang’ atau ‘geulayang tunang’.
Permainan layangan ini lazim dilakukan oleh kaum lelaki saat musim panen padi tiba.
Peserta ‘geulayang tunang' menyiapkan layangannya. (Serambi Indonesia/Zaki Mubarak)
Biasanya dimainkan secara berkelompok di pematang sawah ketika cuaca cerah.
Permainan ini menguji kesabaran lantaran tarik ulur benang yang kelihatannya sederhana sangat dipengaruhi oleh keadaan angin.
Festival layang
Untuk menghidupkan kembali hiburan rakyat ini, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kota Lhokseumwe, menghelat festival layang se-Aceh.
Bertempat di Bukit Goa Jepang, Desa Blang Panyang, Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe, akan diikuti 44 peserta dari 12 kota/kabupaten se-Aceh.
Festival layang merupakan agenda wajib yang dihelat Disbudpar dan masuk kalender even tahunan.
Permainan layang dalam berbagai bentuk dan warna itu kali ini berlangsung selama dua hari mulai 1-2 Agustus 2015.
Festival ini berlangsung selama dua hari mulai 1-2 Agustus 2015. (Serambi Indonesia/Zaki Mubarak)
“Kegiatan ini sekaligus untuk mempromosikan wisata dalam rangka mendukung visit year Lhokseumawe 2015. Antusiasme warga luar biasa. Geulayang tunang sudah kita mulai sejak 2014, ” ujar Kadisparbud Lhokeumawe, Ishaq Rizal kepada Tribun Travel.
Seperti lazimnya sebuah perlombaan, festival layang juga menerapkan sejumlah persyaratan dengan penilaian sistem gugur.
Peserta yang berjumlah 44 orang itu dibagi atas dua grub dan menjalani tahap seleksi yang kemudian meloloskan masing-masing lima peserta.
Sepuluh peserta yang terpilih kemudian memasuki babak granfinal hingga menyisakan tiga orang pemenang.
Para peserta ‘adu geulayang’ memperebutkan piala penghargaan dan uang pembinaan dengan total hadiah Rp 7,5 juta.
Kriteria penilaian
Layangan yang digunakan adalah ukuran 50 Cm dengan panjang benang 500 meter.
Sementara bentuk, motif, dan warna tak masuk kriteria penilaian juri.
Layangan yang lolos seleksi kemudian diperlombakan melalui tahapan anjungan dengan waktu sekitar 10 menit.
Tahap kedua tarik ulur benang sepanjang 500 meter selama 10 menit.
Lalu yang terakhir ditancapkan di tiang pancang untuk melihat kondisi layang saat mengudara, juga dalam waktu 10 menit.
Sorak-sorai peserta geulayang tunang. (Serambi Indonesia/Zaki Mubarak)
Pada tahap pertama yaitu anjungan, peserta dibolehkan mengganti layangan apabila kayu layang patah, kertas layang sobek, atau tali layang putus.
Kemungkinan ini sangat mungkin terjadi sehingga peserta diberi kesempatan untuk berganti layang, namun dalam waktu yang sudah ditentukan.
Untuk itu pula, panitia menyiapkan bahan baku guna berjaga-jaga jika kemungkinan itu terjadi.
Angin dan kondisi Bukit Gua Jepang yang berundak-undak serta dipenuhi ilalang menjadi tantangan tersendiri bagi peserta.
Bukit Goa Jepang
Pemilihan Bukit Goa Jepang sebagai arena festival layang bukan tanpa alasan.
Goa Jepang merupakan gua pertahanan yang digunakan oleh serdadu ‘Negeri Matahari Terbit’ pada masa pendudukan Jepang yaitu sebelum kemerdekaan RI.
Terowongan gua buatan yang dilapisi tanah kapur itu sudah ada sejak tahun 1942.
Terowongan dengan tinggi sekitar 200 meter ini mempunyai 7 lorong, 3 di antaranya merupakan lorong pertahanan yang mengarah langsung ke laut.
Sedangkan sisanya terletak di belakang gua yang berfungsi untuk jalur darurat.
Pun begitu sejak dibuka untuk umum pada Januari 2015, objek wisata yang masuk dalam program pengembangan kota hijau itu telah dilengkapi dengan penerangan yang cukup.
Jadi tak perlu khawatir menjajal Goa Jepang karena sepanjang terowongan pendaran lampu akan membantu penglihatan anda.
Begitu juga halnya dengan keamanan, Goa Jepang yang telah berumur 73 tahun itu terbukti kokoh walau Aceh kerab digoyang gempa dahsyat.