News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Wisata Yogyakarta

Kisah Suharto, Pria yang Menyusun Ulang Batu Candi Ratu Boko dan Prambanan

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pekerja membersihkan rumput di kompleks Candi Ratu Boko, Sleman, DI Yogyakarta.

Laporan Reporter Tribun Jogja, Rendika Ferri K

TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Pernah berkunjung ke obyek wisata candi-candi?

Sebagian dari kita yang melihatnya, pasti terkagum-kagum bagaimana bangunan semegah itu dibuat di masa lalu dan masih berdiri sampai sekarang.


Suharto, juru susun batu candi asal Klaten, Jawa Tengah.  (Tribun Jogja/Rendika Ferri

Namun, bentuk Candi pada asalnya, sebetulnya tak lagi sama dengan apa yang kita lihat sekarang.

Ratusan tahun termakan usia, bangunan nan megah akan terurai menjadi puing-puing batu yang tak tersusun.

Tetapi, berkat usaha, dan kerja keras para juru steller, bangunan candi yang semula berantakan, kini dapat tersusun megah kembali.

Steller, tentu bagi sebagian besar orang merasa asing dengan profesi satu ini.

Steller, atau juru susun batu-batu candi, adalah seorang ahli yang piawai dalam mencari, mencocokkan, dan menyusun puing-puing batu menjadi bangunan candi yang utuh.

Salah satu Steller yang berdedikasi penuh adalah, Suharto.


Sebagian bangunan candi di Kompleks Candi Prambanan di perbatasan Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah rusak berat saat kawasan tersebut diguncang gempa. (Kompas/Heru Sri Kumoro)

Warga Dusun Bugisan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah ini hampir lebih 35 tahun menjadi penyusun batu candi.

Puing-puing batu berserakan tak berbentuk itupun disusunnya menjadi bangunan candi yang indah nan megah, yang dapat kita nikmati sekarang.

Ia banyak berperan dalam proyek pemugaran bangunan-bangunan candi penting di DIY.

Salah satu proyek pertamanya adalah pemugaran Candi Wishnu dan Candi Brahma di Kompleks Candi Prambanan.

Suharto juga berperan dalam pemugaran Candi Ijo dan Candi Ratu Boko.

Pria lulusan SMEA ini sudah terlibat aktif dalam pemugaran candi sejak tahun 1979.

Ketika itu, setelah lulus, Suharto langsung mendaftarkan diri sebagai seorang steller, atau juru susun batu-batu candi di Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta.

Pada awalnya, Suharto merasakan kesusahan ketika bekerja menyusun batu-batu candi, karena sebelumnya tak pernah mendapatkan pengetahuan tentang pemugaran bangunan candi.

Namun seiring berjalannya waktu, dengan bimbingan dari BPCB Yogyakarta, dan pengalamannya bekerja menyusun batu, ia mulai mengerti sedikit demi sedikit teknis pemugaran candi.

Ia mengatakan, setiap bangunan candi memiliki ciri dan bentuk yang berbeda-beda.

Sehingga dalam proses pemugaran bagian candi yang hilang, Suharto harus mempelajari sifat fisik dari bebatuan candi.

Setelah mempelajari ciri fisik batuan candi, ia lantas mencari puing bebatuan yang cocok untuk dipasangkan pada bagian yang rusak ataupun hilang.

“Bangunan satu dengan yang lain, ciri dan bentuknya sudah berbeda. Sehingga kita tidak bisa menentukan langsung, kita harus menyesuaikan dengan ciri khas batu. Contohnya pada candi-candi di komplek Prambanan, antara candi Wishnu dan Brahma itu sudah lain cirinya," kata Suharto.

"Begitu juga dengan Candi siwa, dan Boko, semuanya memiliki ciri yang berbeda-beda,” tambahnya.

Walaupun telah berpuluh-puluh tahun menyusun batuan, Suharto, mengaku masih kesulitan dalam menyusun bebatuan candi.

Kendala yang dihadapinya adalah seperti, puing batu candi yang susah dicari untuk melengkapi bagian tertentu yang hilang.

Ia dituntut cermat memilih bagian yang cocok dengan fisik candi.

“Guru saya, ya batu itu. Berpuluh-puluh tahun bekerja di bidang ini, saya jadi paham bagaimana menyusunnya,” tutur Suharto.

Dalam bekerja, Suharto selalu bekerja secara cermat.

Pertama-tama yang ia lakukan adalah mengumpulkan data-data yang ada pada reruntuhan candi.

Setelah data-data fisik candi lengkap, mulailah Suharto mencari batu yang cocok untuk bagian candi yang hilang.

Setelah itu barulah, ia dapat memugar dan menyusun kembali bangunan candi tersebut.

Kendala dalam memugar candi pun tak jarang ditemuinya.

Dalam memasang, batuan yang cocok, tak jarang ia memanjat bangunan candi.

Suharto dituntut untuk berhati-hati dalam mengangkatnya, lalu mencocokannya, supaya tidak retak ataupun rusak.

“Saat manjat dan bawa-bawa batu candi, kami harus hati-hati, biar tak rusak atau patah. Karena kalau sudah patah atau rusak, nilai sejarahnya menjadi berkurang,” ujarnya.

Sebagai seorang steller, Suharto berharap kepada generasi muda untuk menghargai candi sebagai peninggalan nenek moyang, menghargai jerih payah mereka dengan senantiasa menjaganya.

Ia juga mengajarkan kepada anak-anaknya untuk terus menjaga nilai-nilai dari cagar budaya sebagai warisan untuk anak cucu kelak.

“Siapa lagi kalau bukan kita yang merawatnya. Bangunan-bangunan tersebut tak ternilai harganya, karena itu adalah peninggalan nenek moyang, dan warisan kepada anak cucu kita kelak,” tutupnya sambil tersenyum.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini