TRIBUNNEWS.COM - Bagi saya pribadi, mengunjungi Pulau Dewata tidak akan pas rasanya jika tidak berkunjung ke Pura Luhur Uluwatu, pura yang berada di pinggir tebing setinggi 30 meter dengan hamparan Samudra Hindia di bawahnya.
Adalah tari kecak, satu-satunya pertunjukan yang hanya diadakan di area objek wisata Pura Luhur Uluwatu. Tarian ini biasanya berlangsung seiring dengan terbenamnya matahari, yah, sekitar jam 18:00 waktu Bali.
Dan berlangsung selama 1 jam. Para penari akan menggunakan sarung bermotif kotak-kotak berwarna hitam dan putih, seperti papan catur.
Sebelum menyaksikan pertunjukan tari kecak atau berada di area Pura Luhur Uluwatu, ada aturan yang wajib dipenuhi para pengunjung.
Sama seperti aturan di Candi Borobudur yang mewajibkan pengunjungnya mengunakan sarung, maka hal tersebut berlaku juga bagi pengunjung Pura Luhur Uluwatu.
Penggunaan sarung berlaku bagi pengunjung yang berpakaian pendek dan di atas lutut.
Di luar dari pakaian tersebut, pengunjung hanya diberikan selendang berwarna ungu yang diikatkan layaknya ikat pinggang.
Peraturan ini wajib diikuti sebagai bentuk rasa hormat saat berada di tempat ibadah masyarakat Hindu Bali.
Ciri khas dari tari kecak adalah tidak adanya musik penggiring seperti tarian tradisional pada umumnya.
Tari Kecak
Musik penggiring tariannya berasal dari ucapan para penarinya yang duduk melingkar mengelilingi sebuah tungku perapian. “Cak...cak..cak” adalah suara yang diucapkan secara bersama-sama.
Harmonisasi yang indah dan penuh magis antara gerakan tarian dan suara, dan semuanya dilakukan tanpa adanya seseorang yang bertugas sebagai pemberi komando.
Hal ini tentu bukan hal yang mudah, sebab tari kecak adalah tarian yang dilakukan secara beramai-ramai, lebih dari 20 orang.
Ketika tari kecak berlangsung, kita akan menemukan banyak keunikan. Tari kecak lebih menonjolkan gerakan tangan keatas secara serempak atau goyangan bahu, keatas dan kebawah.