Laporan Wartawan Banjarmasin Post, Yayu Fathilal
TRIBUNNEWS.COM, BANJARMASIN - Di Banjarmasin tak banyak ada toko yang menjual barang-barang antik.
Hanya ada beberapa buah di Pasar Sentra Antasari, Jalan Pangeran Antasari, Banjarmasin.
Walau tak banyak, namun koleksi barang para penjualnya tergolong unik dan antik.
Kepala musang yang diawetkan. Benda ini jadi favorit para dukun yang meyakini dapat menangkal bala.
Bahkan ada yang menjual guci yang sudah berusia 750 tahun dari Dinasti Ming di Cina.
Guci atau orang Banjar kerap menyebutnya tajau yang dijual di pasar ini tampak banyak yang sudah berusia tua.
Namun ada juga yang masih muda, sekitar 40 tahun.
Guci-guci di sini rata-rata guci khas Kalimantan.
Ada yang dari Pontianak, Kalimantan Barat, ada juga dari Kalimantan Selatan.
Guci tersebut memiliki beragam ukuran, ada yang mini ada juga yang besar.
Masing-masing memiliki jenis dan usia yang berbeda.
Makin tua makin mahal harganya.
Seorang penjualnya adalah Ali.
Dia memiliki banyak sekali koleksi guci dari berbagai usia.
Berbagai barang antik yang terdapat di Pasar Sentra Antasari, Banjarmasin. (Banjarmasin Post/Yayu Fathilal)
Di antaranya guci jenis pinasti atau bernilai sejarah, berusia ratusan tahun dan ditengarai diproduksi di masa pemerintahan Dinasti Ming, Seladon, Song dan Cing dari Cina.
"Paling tua guci dari Dinasti Ming dan Seladon, yaitu 750 tahun. Tidak saya pajang di toko saya, adanya di rumah. Jadi, pembeli kalau mau bisa datang ke rumah saya saja," ungkapnya.
Guci-guci yang berusia muda, antara puluhan tahun hingga 120 tahun dipajangnya di tokonya.
Semua tampak kuno, bahkan ada yang sudah berkarat namun kondisinya masih utuh.
Guci-guci itu dijualnya dengan harga yang bervariasi.
"Kalau yang jenis pinasti atau berunsur sejarah seperti dari Cina yang bagus dari Dinasti Seladon senilai Rp 500 juta. Kalau yang kurang bagus ada yang saya jual Rp 5 juta. Itu ada yang bermotif burung hok dan babi warna kuning dari Dinasti Ming, usianya sudah tua sekali tetapi kondisinya kurang bagus jadinya lebih murah," ujarnya.
Guci dari Dinasti Seladon memang lebih mahal karena berjenis periuk, badannya berwarna hijau mulus berbahan batu giok.
Ditambah lagi kondisinya masih bagus.
Bulu buntut burung anggang. (Banjarmasin Post/Yayu)
Glacier atau catnya pun masih bagus dan sangat mulus.
"Kalau yang dari Dinasti Song sekitar Rp 3 juta," jelasnya.
Guci-guci kuno dari Cina ini memang sengaja dijualnya lebih mahal.
Alasannya karena bernilai sejarah, bahannya bagus, bermotif indah dan tampak klasik.
Sementara guci-guci yang berusia lebih muda dijualnya Rp 500.000 jika kondisi masih bagus dan Rp 300.000 jika kondisinya kurang baik.
"Kalau guci yang lebih muda kebanyakan dari Indonesia, motifnya polos sehingga dari segi artistiknya kurang bagus dibandingkan dengan yang dari Cina. Bahannya dari tanah," katanya.
Guci-guci ini cukup laris dibeli wisatawan.
Pembelinya bahkan dari luar negeri seperti Malaysia dan Cina.
Guci-guci kuno ini didapatnya dari rekan-rekannya sesama penjual barang antik.
Ada juga dari orang yang datang kepadanya untuk menjual benda tersebut.
Selain guci tua, dia juga menjual banyak benda magis yang biasanya dibeli para dukun.
Benda-benda itu berasal dari hutan-hutan di Kalimantan.
Misalnya, ada kepala musang, kulit monyet, bulu burung anggang hingga buntut kuda.
Semuanya sudah dikeringkan.
Namun dia tak menutup kemungkinan jika ada wisatawan yang tertarik membelinya, tetap dia jual.
Kepala musang yang dijualnya tampak mengerikan dengan matanya yang melotot dan mulut menganga menunjukkan gigi-giginya yang tajam.
Ada juga tengkorak kepala landak.
"Biasanya dikoleksi para dukun, mereka sering beli ke saya. Mungkin untuk jimat atau menambah nuansa magis di ruang praktek mereka," katanya.
Benda-benda ini didapatnya dari orang-orang Dayak yang tinggal di pedalaman hutan Kalimantan.
Daging hewan-hewan itu kerap dikonsumsi orang-orang pedalaman tersebut.
Sementara bagian yang tidak dimakan mereka seperti kepala dan kulitnya biasanya dibelinya untuk dijual.
Kulit monyet dijualnya Rp 50.000, bulu buntut burung anggang Rp 10.000, sayapnya Rp 5.000, kepala musang Rp 25.000 dan kepala landak Rp 50.000.
Selain itu, ada juga kayu gading yang berduri.
Fungsinya untuk menangkal ular dan kuyang.
Kuyang adalah hantu perempuan dari Kalimantan yang berwujud tanpa badan dan kepalanya kerap melayang-layang di udara, suka mengisap darah perempuan yang baru saja melahirkan.
"Harganya Rp 100.000 hingga Rp 250.000 per batang," ujarnya.
Penjual benda antik lainnya, Haji Saleh, banyak menjual kuningan berbagai jenis.
Kuningannya berupa tempat bulat semacam baskom, teko hingga seperangkat alat penginangan lengkap dengan wadah membuang ludah untuk orang menginang atau biasa disebut pakucuran oleh orang Banjar.
Harga jualnya berkisar antara ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Semua benda antik ini dipasoknya dari sekitar Kalimantan saja.
Benda-benda antik yang dijualnya tampak berusia kuno, namun sayangnya dia tak mengetahui pasti berapa usianya.
Toko-toko penjual benda-benda antik ini berada di dalam Pasar Sentra Antasari.
Posisinya di sebelah kanan bagian pasar jika masuk dari pintu utamanya, dekat deretan toko elektronik, servis jam, pasar sayur dan Masjid Agung Miftahul Ihsan.
Sayangnya, kondisi pasar kurang nyaman, agak kumuh dan gelap.
Maklum saja, di daerah ini sering mati lampu.
Menuju ke pasar ini mudah saja.
Bisa menggunakan kendaraan pribadi, bisa juga kendaraan umum seperti ojek, angkot dan becak.
Untuk angkot, cukup membayar Rp 4.500.
Soal transportasi tak perlu risau, karena di pasar ini ada terminal induk angkot.
Becak, bajaj dan tukang ojek banyak bertebaran di sekitar pasar ini.