Laporan Wartawan Tribun Jateng, Muhamad Alfi M
TRIBUNNEWS.COM - Tanpa penata rias, para pemain wayang orang ini merias diri, berdandan sendiri, di balik panggung sebelum pentas. Kok bisa merias diri? Apalagi sebagian besar dari mereka adalah kaum Adam!
GEDUNG Ki Narto Sabdho di kompleks Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Sabtu pukul 20.00 WIB, mulai ramai didatangi pengunjung.
Terpampang di samping pintu masuk, jadwal pertunjukan yang rutin digelar setiap Sabtu.
Malam itu, bakal ditampilkan cerita wayang orang berjudul "Nogotatmolo Gandrung" dibawah arahan sutradara Wiradyo.
Satu setengah jam sebelum pentas, di dalam gedung di belakang panggung, tampak kesibukan pemain wayang orang maupun pemain gamelan yang akan tampil.
Merias muka secara mandiri di depan cermin biasa bagi mereka. Beberapa perlengkapan baju peran juga terpasang di tubuh.
Para pemain wayang orang Ngesti Pandowo sedang merias diri di balik panggung. Tanpa penata rias.
Sudah hafal make up, sudah hafal naskah, dan sudah hafal adegan, begitu Cicuk Sastrosoedirjo menggambarkan kepribadian para pemeran wayang.
Cicuk tahu persis karena dia merupakan pimpinan kumpulan wayang orang NGesti Pandowo yang sudah berumur 84 tersebut.
"Teman-teman itu, kalau soal cerita, dialog, make up, dan kostum sudah menyatu. Sudah hafal. Bahkan, pemain tak perlu lagi baca skenario. Tinggal mereka mempraktikkan di panggung. Tapi, selalu ada improvisasi dari tiap pemain. Begitu juga dengan pemain gamelan dan sinden. Sudah hafal juga urutan tiap lagu yang akan dibawakan," ujarnya.
Cicuk menerangkan, wayang orang yang kini menjadi ikon Kota Semarang itu awalnya berasal dari Madiun, Jawa Timur.
Bermula dari pentas keliling dari kota ke kota, sekitar tahun 1950-an mereka singgah, pentas dan akhirnya menetap di Semarang setelah dibuatkan gedung pentas oleh walikota saat itu, Hadi Subeno.
Sempat mengalami pasang surut, Wayang Orang Ngesti Pandhowo kini secara rutin pentas di TBRS Semarang.