Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kelenteng atau rumah ibadah bagi umat Tionghoa selalu memiliki paras menarik dengan desain serta detail dekorasi bangunan mentereng.
Coba tengok Kelenteng Hian Thian Siang Tee di belakang Pasar Palmerah yang usianya telah menginjak 200 tahun lebih.
"Usianya kira-kira sudah 200 tahun pada zaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1800-an," buka Iwan Bakara Guntur, Wakil Pengurus Kelenteng Hian Thian Siang Tee kepada Tribun Travel, Senin (28/9/2015).
Kelenteng Hian Thian Siang Tee di belakang Pasar Palmerah yang usianya telah menginjak 200 tahun lebih. (Tribunnews/Reynas)
Dahulu kedatangan bangsa China di Indonesia untuk menjadi pedagang maka tak heran letak kelenteng umumnya menempati kawasan pasar atau dekat laut.
"Zaman nenek moyang umumnya kaum Tiongkok berprofesi sebagai seorang pedagang yang menguasai perdagangan jadi pengaruh itu yang membuat lokasi kelenteng di daerah pasar dan tepian laut," aku Iwan menjelaskan kronologi sejarah.
Kelenteng memunculkan aroma wangi dupa dari bagian luar hingga dalam ruangan sembahyang.
Hal ini yang membuat kelenteng identik dengan aktivitas pemeluk agama Buddha berdoa ataupun kebaktian.
"Seperti tempat ibadah agama lainnya, kelenteng juga terbuka untuk umum yang terasa menonjol dengan aroma dupa," terangnya.
Seiring perjalanan waktu, Kelenteng Hian Thian Siang Tee sempat mengalami renovasi tetapi hanya di sisi depan pada tahun 1973.
"Tahun 1973, dipugar untuk pertama kalinya termasuk penambahan lampion-lampion yang menurut agama sebagai penerangan jiwa," kata Iwan lagi.
Lampion-lampion ini berjumlah 175 yang tampak nama-nama umat untuk meminta doa kepada dewa utama Hian Thian Siang Tee.
Kelenteng ini memunculkan aroma wangi dupa dari bagian luar hingga dalam ruangan sembahyang. (Tribunnews/Reynas)
Selain itu, dinding Kelenteng Hian Thian Siang Tee didominasi warna merah beserta relief naga melingkar di setiap tiang depannya.
Adapun hiasan aksara Tiongkok yang terhias pada pintu masuk depan untuk menyambut para pendoa.
Sejumlah lukisan dewa-dewa terpancar di halaman klenteng sebagai pelambang kerukunan keluarga antara kakek, anak dan cucu.
Sedangkan di dalam ruang diletakkan 17 meja berdoa, puluhan patung, dan dewa utama Hian Thian Siang Tee.
Dikatakan Iwan, pengelolaan klenteng rutin berganti setiap Hari Raya Imlek berlangsung.
Hian Thian Siang Tee yang merupakan dewa utama klenteng dipercaya dapat mengabulkan harapan untuk meminta kesehatan dan keselamatan.
Di sisi kiri terdapat ruangan khusus berisi dua undakan layaknya makam yang cukup gelap.
Namun ruangan tersebut bukan berisikan makam hanyalah sejumput tanah yang diambil dari makam Surya Kencana yang konon dikenal sebagai ahli agama di Jawa Barat.
Tempat ibadah di Kelenteng Hian Thian Siang Tee. (Tribunnews/Reynas)
Umat Buddha kebanyakan melakukan tirakat dan berdoa ruangan ini untuk menerangi jiwa.
Ada tiga (3) perayaan yang digelar antara lain tahun baru Imlek, hari ulang tahun dewa utama, dan ritual sembahyang arwah.
Kelenteng ini buka setiap harinya selama 24 jam selayaknya tempat ibadah agama-agama lainnya.