Laporan Wartawan Banjarmasin Post, Yayu Fathilal
TRIBUNNEWS.COM, KABUPATEN BANJAR - Kalimantan Selatan sejak dulu memiliki banyak masjid tua yang bersejarah dengan keunikannya masing-masing.
Masjid atau surau di provinsi ini di masa lalu semuanya berbahan kayu ulin.
Namun seiring berjalannya waktu konstruksinya banyak yang lapuk sehingga masjidnya direnovasi menggunakan bahan yang modern seperti semen atau beton.
Empat tiang guru di Masjid Agung Alkaromah Martapura yang selalu berkalung kembang. (Banjarmasin Post/Yayu)
Walau begitu, tetap masih ada nuansa bahari atau ciri khas tradisi Banjar di dalamnya, jika kita cermat.
Seperti di Masjid Agung Al-Karomah, Martapura, Kabupaten Banjar ini.
Masjid ini tampak kokoh berbahan beton.
Tampilannya dihiasi warna cat yang kontras, yaitu biru tua di kubahnya dan kuning muda di dindingnya, putih di dinding dalamnya dan jendelanya dilengkapi kaca berwarna-warni.
Masjid ini sangat luas, berlantai dua, halamannya pun luas, cukup untuk menampung jemaah hingga 21.000 orang.
Memasuki masjid yang beralamat di Jalan Ahmad Yani, Martapura ini, nuansa relijius Islam sangat terasa.
Ibadah salat jemaah di Masjid Agung Alkaromah, Martapura. (Banjarmasin Post/Yayu Fathilal)
Siang malam masjid ini selalu dipenuhi jemaah yang beribadah salat atau sekadar beristirahat tidur.
Lantai di bagian dalamnya berupa beton dilapisi karpet merah yang tampak bersih dan empuk.
Jika ke masjid ini, sebaiknya jangan hanya untuk beribadah atau beristirahat.
Sesekali, luangkanlah waktu Anda untuk mengeksplorasi tiap sudutnya, karena Anda pasti akan menemukan banyak hal yang bernuansa klasik khas Banjar di sini.
Sekilas jika melihat masjid ini akan tampak seperti masjid baru, namun jika dicermati dan dieksplorasi secara mendalam, Anda baru akan tahu jika masjid ini adalah tempat ibadah berusia tua dan penuh sejarah masa lalu.
Suasana di dalam Masjid Agung Alkaromah, Martapura. (Banjarmasin Post/Yayu Fathilal)
Ada beberapa kotak amal berbahan besi yang berat dan tebal, berukuran besar dan berukiran klasik yang menandakan benda ini adalah properti kuno milik masjid ini.
Di dalamnya dipenuhi interior modern, namun ada satu konstruksi menarik di bagian tengahnya yang tampak kontras dengan suasana modern itu, yaitu berupa atap kayu berukiran dilengkapi beberapa tiang kayu.
Catnya pun berbeda dari sekelilingnya, yaitu berwarna hijau dan kuning.
Bagian ini merupakan konstruksi bangunan lama masjid ini.
Sekarang desain bangunannya lebih bernuansa Eropa.
Dulu rancangannya seperti Masjid Sultan Suriansyah di Banjarmasin yang mengadopsi desain masjid di Demak, Jawa Tengah dikolaborasikan dengan ukiran-ukiran khas Banjar.
Di tengahnya, Anda mungkin akan dibuat terkejut atau bahkan terkesima karena ada empat tiang yang berukuran lebih besar dari tiang lainnya di masjid ini.
Posisinya saling berhadapan membentuk segi empat.
Tiangnya dipenuhi ukiran klasik, namun bukan itu daya tariknya, melainkan di sekelilingnya ada banyak rangkaian kembang barenteng khas Banjar yang dikaitkan dengan besi-besi pengait melengkung yang ujung-ujungnya tajam.
Tiang ini dan besi-besi tersebut tampak berusia tua, sangat kontras dengan tiang-tiang lainnya di sekelilingnya yang masih tampak baru dan berbahan beton.
Kembang-kembang itu berupa rangkaian bunga mawar, melati, cempaka dan kenanga yang masih segar dirangkai menggunakan batang pisang sebagai pangkalnya.
Batang pisang ini yang dikaitkan ke besi yang menancap di tiang tersebut.
Empat tiang ini adalah tiang guru atau soko guru masjid ini.
Kembang barenteng itu hanya ada di empat tiang guru tersebut, sedangkan di tiang lainnya di masjid ini tidak ada bunganya.
Di bagian lain masjid ini, Anda kembali menemukan fakta lain yang bernuansa khas Banjar, yaitu di dekat mimbarnya ada banyak botol plastik berisi air doa.
Di dekat situ ada pula ember kecil, teko plastik, sehelai sajadah berwarna hijau dan baki kecil yang di atasnya ada beberapa buah gelas kecil dan teko aluminium warna emas khas Arab Saudi berisi air doa juga.
Mimbarnya pun tampak unik, dipenuhi ukiran-ukiran khas Banjar berbahan kayu ulin.
Semua ini ternyata bukan tanpa maksud.
Semuanya ini menandakan sebuah tradisi turun temurun yang sudah sangat mengakar di kehidupan relijius orang Banjar di Martapura.
Sebuah perpaduan pengaruh budaya Islam dan Hindu yang begitu kuat.
Sekretaris Masjid Agung Al-Karomah, Sya'rani Saleh mengatakan adat ini memang sudah ada sejak lama, bahkan sejak masjid ini dibangun pada 1280 Hijriyah atau 1863 masehi.
"Warga senang menggantungkan kembang barenteng di empat tiang guru masjid ini ada tujuannya. Biasanya kalau hajat mereka terkabul mereka menggantungkannya di situ sebagai ungkapan rasa syukur Allah telah mengabulkan hajat-hajat mereka," jelasnya.
Uniknya, hanya empat tiang guru itu yang digantungi kembang barenteng karena itu merupakan tiang utama masjid ini.
Warga menganggapnya keramat dan menurutnya tradisi ini sudah sangat mengakar di kehidupan umat Islam di Martapura, kendati zaman sudah modern.
"Mungkin ini satu-satunya masjid di Indonesia yang memiliki tradisi seperti ini. Masjid lainnya di Nusantara ini rasanya tidak ada yang memiliki tradisi ini, saya tidak pernah mendengar atau menemukan fakta seperti ini di masjid lainnya. Di Kalimantan Selatan pun, cuma masjid ini yang begini tiang gurunya," bebernya.
Empat tiang ini pun memiliki sejarah tersendiri saat pembangunannya dulu, yaitu berupa kayu ulin yang dibawa langsung oleh ulama pencetus pembangunan masjid ini, yakni Haji Muhammad Afif alias Datu Landak.
"Konon, empat kayunya ini dibawa Datu Landak dari Barito di Kalimantan Tengah hanya dengan berjalan kaki. Kayunya yang masih berupa gelondongan dijepitnya saja di bawah ketiaknya. Itulah kesaktiannya Datu Landak," jelasnya.
Sedangkan botol-botol air doa di dekat mimbarnya merupakan titipan warga yang ingin mengambil berkah dari air tersebut.
Di saat-saat tertentu, pengurus masjid ini juga melayani warga yang memiliki anak bayi berusia 41 hari untuk didoakan di sini.
"Tempatnya di dekat air doa itu, yang ada teko dan sajadahnya situ. Keluarga si anak menggelar selamatan karena sang ibu sudah berhasil melahirkan hingga anaknya sehat berusia 41 hari, kemudian dibawa ke sini. Didoakan dan diberi air doa tersebut," katanya.
Tradisi ini pun sudah merupakan bagian dari kehidupan relijius umat Islam di kota ini.
Diceritakannya, masjid ini sering dianggap keramat oleh warga tak hanya karena nuansa tradisional tersebut, namun juga karena memiliki karomah.
Mungkin itu pula sebabnya dinamai Masjid Agung Al-Karomah, padahal awalnya namanya Masjid Jami' Martapura.
Rupanya karena karomahnya itu, masjid ini lebih akrab disebut Masjid Agung Al-Karomah hingga menjadi nama resminya sekarang.
Dulu, Martapura pernah dilanda dua kali banjir besar namun anehnya airnya menghindari masjid ini.
"Airnya seperti memutar, menghindar masuk masjid ini. Menurut cerita orang-orang tua kami dulu, airnya pas dekat masjid ini jadi miring lalu arusnya berbalik arah menghindari masjid ini sementara bangunan lainnya habis terkena banjir. Dua kali banjir, dua kali pula masjid ini selamat. Makanya masjid ini diyakini warga dilindungi oleh Allah SWT, punya karomah atau keramat," katanya.
Posisi masjid ini di tepi jalan nasional, Jalan Ahmad Yani.
Di sampingnya ada Pasar Batuah dan pusat belanja oleh-oleh Cahaya Bumi Selamat.
Menuju masjid ini sangat mudah karena banyak kendaraan umum lewat di depannya.
Cukup mengeluarkan uang Rp 15.000 untuk ongkos naik Taksi Hulu Sungai dari Terminal Induk Km 6 Banjarmasin, sekitar satu jam perjalanan ke masjid ini dari Banjarmasin.
Turun di depan Pasar Batuah, kemudian tinggal berjalan kaki saja sebentar ke masjid ini karena bersebelahan dengan pasar tersebut.
Jika di Martapura atau dari Banjarbaru tinggal naik angkot jurusan Pasar Batuah, tarifnya Rp 5.000 per orang.