Ujung jalan menjadi pemberhentian kami selanjutnya.
Tepat di pos ini kami meninggalkan mobil untuk menuju mulut Lo’ko Bubau, kurang lebih sekitar 500 meter lagi yang harus kami tempuh dengan berjalan kaki.
Dituntut harmonisasi antara derap langkah dan pandangan mata untuk menerobos semak belukar yang menghadang.
Suara air yang mengalir deras terdengar tak jauh dari lokasi ini.
Hal lain yang menarik perhatian kami adalah hamparan lahan yang hangus terbakar.
“Dua minggu lalu saya datang belum terbakar seperti ini,” ujar Darwin, warga Baraka yang bersedia memimpin kami untuk menyusuri Lo’ko Bubau.
Semestinya lokasi ini menjadi bagian dari 40% kawasan lindung yang dikonservasi oleh Pemerintah, tetapi pemandangan sekitar menunjukkan lemahnya pengawasan.
Kurangnya pengawasan terhadap hutan lindung di kawasan Bubau menyebabkan lahan berhektar-hektar mudah hangus terbakar oleh kesengajaan. (Sekar Rarasati)
Bau yang tak sedap
Lo'ko Bubau atau Gua Bau yang terletak di Desa Kadingeh, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan sempat menjadi tempat wisata umum yang dikunjungi oleh ribuan pengunjung sejak 2012. Kini Bubau hanya berperan sebagai lokasi pelatihan dasar pecinta alam. (Sekar Rarasati)
Mulut Gua Bubau sudah ada di depan mata kami, sesuai dengan makna dari nama yang disematkan, gua ini memang mengumbar bau yang tak sedap.
Menurut warga, bau tak sedap ini berasal dari kotoran kelelawar yang menumpuk di dalam.
Beberapa kali kami mendapati kelelawar menerobos keluar dari dalam gua.
Berdiameter kurang lebih delapan meter dengan tinggi lima meter dan dihiasi oleh stalaktit yang meruncing menghadirkan nuansa misterius.