Daratan seluas 45 hektar itu terbagi dua berdasarkan letupan, yakni Joko Tuwo dan Roro Denok.
Letupan itu muncul setiap 2-3 menit sekali."Meski di bagian pinggir tanah terlihat sudah mengering, namun harus tetap hati-hati karena labil. Jika tidak hati-hati bisa terperosok," ujar pemandu wisata di Bledug Kuwu, Khudori.
Air kawah yang mengandung garam dimanfaatkan warga untuk membuat garam dan bleng.
Caranya, menampung air Bledug Kuwu kemudian dijemur hingga berbentuk kristal garam.
"Rasa asin yang ditimbulkan itu selalu menimbulkan tanda tanya wisatawan yang datang. Mereka menyebut sebagai lapindo versi mini. Padahal, Bledug Kuwu sudah ada lama, bahkan ceritanya melegenda. Sampai sekarang juga masih diteliti," kata pemandu wisata Bledug Kuwu, M Khudori.
Sayang, keajaiban alam ini tidak banyak menyedot pengunjung.
Sarana dan prasarana pendukung yang masih terbatas dimungkinkan menjadi alasan wisatawan ogah datang.
Misalnya, menara yang bisa dimanfaatkan untuk memantau letupan lumpur sudah keropos. Selain itu, saung yang didirikan di pinggir Bledug Kuwu juga terbengkelai dan rusak. (*)