Laporan Yayu Fathilal dari Tanah Suci Mekkah
TRIBUNNEWS.COM - Bertandang ke Tanah Arab entah untuk sekadar beribadah atau jalan-jalan, menciptakan sensasi tersendiri.
Sebab, alam dan hawa yang berbeda tentunya bisa menjadi pengalaman unik tersendiri untuk dijalani.
Tanahnya yang gersang, dipenuhi gunung batu baik besar maupun kecil, menjadi pemandangan biasa di sana.
Jarang sekali tampak pepohonan.
Kalau pun ada, hanya berupa pohon-pohon kurus, kering, rantingnya kecil dan daunnya kecil-kecil dengan warna hijau yang suram dan berdebu.
Dari jauh tampak seperti gugusan semak belukar, padahal ketika didekati ternyata pohon.
Pepohonannya tampak jarang-jarang.
Entah kenapa burung-burung merpati di Tanah Suci Mekkah warna dan motifnya sama semua. Subhanallah!
Matahari cukup terik walau suhunya antara 25-30 derajat celcius.
Kendati begitu, hawa panas tak begitu terasa karena banyak angin, terutama ketika berada di daerah padang pasirnya.
Jurnalis BPost, Yayu Fathilal yang beberapa bulan lalu berkesempatan ke Saudi Arabia, mengunjungi tiga kota besar di sana, yaitu Jeddah, Madinah dan Mekkah.
Perjalanan dari Jakarta melalui Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta ke Jeddah (Bandar Udara Internasional King Abdul Aziz) sekitar sembilan jam.
Perjalanannya cukup melelahkan, dari Banjarmasin berangkat subuh sekitar pukul 05.30 Wita karena akan menggunakan pesawat penerbangan pagi dari Bandar Udara Syamsudin Noor di Banjarbaru.
Tiba di Bandar Udara Soekarno Hatta, harus berurusan dengan imigrasi dulu dan rencana berangkat menuju Bandara Udara King Abdul Aziz pukul 14.00 WIB, namun ternyata harus ditunda beberapa kali.
Penundaan terakhir penumpang harus tetap duduk di dalam pesawat selama beberapa jam hingga akhirnya pesawat baru bisa berangkat sekitar pukul 23.00 WIB.
Tiba di Jeddah besok subuhnya pukul 05.00 waktu setempat.
Jamaah antri untuk dapatkan air Zam Zam.
Setelah pemeriksaan paspor dan mengambil bagasi, barulah perjalanan berlanjut ke Kota Madinah yang ditempuh sekitar lima jam dari Jeddah menggunakan bis.
Pemandangan selama perjalanan sangat tandus, dipenuhi hamparan gunung batu.
Banyak pula gunungnya yang dibelah dengan alat-alat berat untuk dibangun sesuatu.
Sesekali tampak kawanan unta liar berkeliaran.
Tiba di Madinah, disambut dengan hawa yang segar.
Walau matahari cukup terik, namun panasnya tak begitu terasa.
Bahkan, ketika waktu sudah menunjukkan pukul sembilan waktu setempat, hawanya masih seperti pukul enam pagi.
Di Madinah, tak susah mencari oleh-oleh karena di sekitar hotel-hotelnya dipenuhi pertokoan.
Bahkan, ada juga restoran yang menjual makanan-makanan dari negara tertentu seperti Indonesia, Pakistan dan Turki.
Barang-barang yang dijual beragam harganya seperti suvenir, perhiasan, kurma, kismis, kacang Arab, tasbih, jilbab hingga gamis.
Untuk suvenir berkisar antara tiga riyal hingga 10 riyal per satuannya, namun ada juga yang sepaket seperti sabun mandi kecil-kecil berbentuk kotak buatan Pakistan yang dihargai 10 riyal.
Sementara untuk gamis dihargai antara 50 riyal hingga ratusan riyal.
Demikian pula dengan sajadah, antara lima riyal hingga ratusan riyal, tersedia di sana.
Bagi Anda yang senang belanja dengan harga murah bisa mengunjungi pasar murahnya yang ada di sekitar Masjid Nabawi.
Harga berbagai suvenir yang dibanderol di sana sekitar lima riyal hingga 10 riyal.
Mau makanan khas Timur Tengah dan minuman seperti air mineral dan jus juga banyak tersedia di sana, dibanderol antara satu riyal hingga belasan riyal, tergantung jenis.
Kondisi serupa juga terjadi di Kota Mekkah.
Di sini banyak dijual berbagai suvenir murah seperti sajadah, jilbab, tasbih, gelang, kalung, dan sebagainya.
Walau ini di Arab Saudi, jangan heran jika kemudian Anda menemukan banyak suvenir khas sana yang ternyata buatan Cina alias made in China.
Mulai dari pensil, pena, kotak makanan, gelas, piring, sendok, ikat rambut, peci haji, dan sebagainya berlabel made in China.
Namun banyak juga peralatan makan dan perangkat salat yang berlabel made in Pakistan, India, Bangladesh dan Turki, tentunya dengan kualitas dan ciri khas yang berbeda lagi.
Semua suvenir yang dijual ini berbeda-beda harganya, mulai dari yang murah yaitu tiga riyal hingga yang mahal berkisar ribuan riyal.
Berkunjung ke pasar-pasar di Tanah Arab, Anda tak akan kesulitan soal bahasa, sebab kebanyakan pedagangnya baik orang Arab asli, pendatang seperti orang India dan Bangladesh rata-rata bisa berbahasa Indonesia.
Bahkan ada juga yang mengerti Bahasa Jawa.
Ketika Anda lewat, jangan kaget jika kemudian mereka ramai berseru dengan Bahasa Indonesia untuk menawarkan dagangan mereka.
Mereka bahkan selalu mengikuti perkembangan tren fashion di Indonesia.
Mereka kenal dengan istilah gamis Syahrini atau baju Krisdayanti.
"Murah, murah, lima riyal, ayo lihat-lihat. Gamis Syahrini, baju Krisdayanti," seru mereka ketika melihat pengunjung asal Indonesia yang datang.
Para pedagang perhiasan pun tak kalah strategi dalam menawarkan jualan mereka ke para turis asal Indonesia.
Nama-nama presiden Indonesia pun mereka tahu dan jualan mereka diberi nama para presiden itu.
"Indonesia, Indonesia? Ayo lihat-lihat, ada emas Soeharto, emas Megawati, emas SBY, emas Jokowi," seru mereka.
Hal yang mengherankan lagi, ada juga di antara mereka yang bisa berbahasa gaul yang kerap diucapkan para pedagang kaki lima di Indonesia. "Kaka, ayo kaka lihat-lihat dulu. Murah-murah, Kaka," kata mereka.
Dan ada juga yang bisa berbahasa Jawa seperti matur nuhun.
Di Mekkah juga ada mal bernama Al Shafwah Center.
Posisinya tepat di depan Masjidil Haram.
Harga barang-barang yang ditawarkan di sini juga beragam, mulai dari tiga riyal hingga ribuan riyal dan tentunya tak bisa ditawar karena sudah harga pas.
Pasar-pasar ini selalu ramai bahkan dari sebelum subuh hingga malam tiba.
Toko-tokonya hanya tampak sepi di saat waktu salat wajib tiba, karena semuanya harus beribadah.
Anda tak perlu heran, di saat waktu salat berjemaah di Masjidil Haram tiba, pasar-pasar ini tidak lagi dipenuhi oleh manusia yang bertransaksi jual beli, melainkan penuh dijejali manusia yang salat.
Mereka bisa salat dimana saja seperti di emperan toko atau di jalanan di depan pasar, asal ada tempat kosong saja dengan alas seadanya.
Bahkan ada juga yang tak beralas sama sekali.
Usai waktu salat, aktifitas jual beli pun kembali ramai.
BPost waktu itu sempat pula tak dapat tempat salat di dalam masjid karena saking penuhnya.
Terpaksa salatnya di aspal di jalan depan Masjidil Haram dengan alas seadanya dan kaki hingga pantat disengat panasnya aspal yang sangat luar biasa yang terpapar teriknya sinar matahari Mekkah.
Pernah juga kebagian tempat salat di trotoar mall tersebut. (Yayu Fathilal)
Banyak yang Selfie di Kakbah
DI zaman modern ini, banyak kalangan muda yang akrab dengan penggunaan gadget.
Sekarang sedang masanya foto selfie marak digemari anak-anak muda di berbagai belahan dunia.
Para jemaah yang mengunjungi Masjidil Haram pun tak ketinggalan untuk berfoto selfie di depan bangunan bersejarah yang ada di masjid tersebut, yaitu Kakbah.
Biasanya yang melakukannya adalah anak-anak muda, sementara kaum tuanya yang tak begitu akrab dengan gadget lebih asyik beribadah atau sekadar duduk-duduk memandangi Kakbah sembari mengobrol dengan jemaah lain.
Pengalaman unik pernah juga disaksikan wartawati BPost saat para jemaah sedang tawaf di Kakbah.
Seorang pemuda bertampang bule berpakaian ihram tiba-tiba menghentikan aktifitas tawafnya sejenak tepat berdiri di depan wartawati BPost yang kala itu sedang tawaf juga, lantas mengeluarkan ponselnya dan mengaktifkan fitur kameranya untuk berfoto selfie berlatar Kakbah dengan gaya berfoto khas anak muda zaman sekarang, yaitu mulut yang dimonyong-monyongkan dengan ekspresi wajah yang dibuat imut atau sekadar tersenyum lebar.
Menyantap es krim untuk meredam panas cuaca Tanah Suci Mekkah.
Setelah puas berfoto selfie, dia kembali melanjutkan tawafnya.
Tak hanya dia, di depannya ada lagi dua orang pemuda bertampang India atau Pakistan yang berfoto selfie bergantian dengan pose seperti sedang berdoa.
Itu tempat tawaf (mataf) di bawah di dekat Kakbah, di tempat tawaf di atasnya juga banyak yang seperti itu.
Namun sebagian ada juga yang berfoto selfie usai aktifitas ibadahnya selesai.
Sebuah pemandangan yang aneh, mencengangkan sekaligus unik, karena mereka masih sempat-sempatnya eksis di saat tengah beribadah. (Yayu Fathilal)