News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Banyak Anak Muda Australia yang Sudah Lincah Berbahasa Indonesia

Editor: Toni Bramantoro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Arief Yahya

TRIBUNNEWS.COM, MELBOURNE - Menpar Arief Yahya sering dibuat terharu dengan dua kata itu: “Selamat Pagi” dan “Terima Kasih” dari bule-bule Australia yang hadir dan turut menikmati The Wonderful Indonesia Festival 2015 di Queensbridge Square, Melbourne, Australia.

Begitu banyak muda mudi Negeri Kanguru itu yang sudah lincah berbahasa Indonesia dan pede berucap di depan umum.

Ya begitulah kalau culture yang disentuh. Orang akan merinding, bulu kuduk berdiri, sangat tersanjung, amat terpuji, terhormat.

Walaupun hanya sekedar small word, dua suku kata, sudah menyentuh jurag batin yang paling dasar.

Mirip dengan kebiasaan Menpar Arief Yahya yang selalu mengawali perbincangan dengan para pejabat pariwisata Tiongkok dengan kata “Ni hao ma” yang bermakna “apa kabar” dan “xiexie” untuk mengakhiri sambutan, yang berarti “terima kasih.” 

Di Melbourne, Menpar Arief Yahya baru merasakan dahsyatnya “magic words” itu. Tapi bukan orang Indonesia kalau tidak kehilangan akal untuk berbalas pantun.

Salah satu performance music khas Sulawesi Utara, Kulintang yang dimainkan di small stage di square itu adalah lagu Waltzing Matilda, sebuah lagu legendaris yang liriknya sudah disusun sejak 1859 dan dipublish pertama kali sejak 1903.

Lagu balada itu baru dicatat sebagai “The Sounds of Australia” di National Film and Sound Archive tahun 2008 lalu.

“Serangan budaya Australia” berikutnya lebih telak lagi. Anak-anak SMA di Melbourne, dengan seragam sekolahnya, celana pendek, baju kalem, rapi berdasi menyanyikan lagu “Burung Kakak Tua” dengan lafal yang sangat Indonesia.

Di awal acara yang 75% audience-nya masih community Indonesia di sana, langsung merinding berjamaah. Itu adalah laku anak-anak TK dan pre school di tanah air. Sementara di Aussie dinyanyikan olah remaja selevel SMA yang baik.

Masuk nalar, di ujung lagu “…trek dung..trek dung..tralala.. burung kakak tua..” yang bernada naik, semua orang bertepuk tangan riuh. Suhu Melbourne yang pagi itu di 15 derajad Celcius dengna bonus angin pun, terasa hangat.

Anak-anak muda Australia pun masih membuat perform lagi yang lebih menusuk. Dalam berbagai tarian tampil di main stage, beberapa personilnya adalah perempuan bule yang berdandan dan berpakaian adat Bali, Jawa, Sumatera.

Mereka bukan saja mahir berbahasa Indonesia, tetapi juga pintar menari dan menjiwai gerakan-gerakan tarian tradisional yang tidak gampang, sekalipun oleh anak-anak Indonesia di sana. Ada spirit kebersamaan, rasa bangga, semangat memiliki budaya yang tinggi dari sini.

“Ini yang saya sebut blended, menyatu, dan fundamental. Kemasan festivalnya sederhana saja, tetapi content, pesan budaya dan filosofi kebersamaan Indonesia-Australia-nya, sangat terasa sampai ke tulang. Sukses dan antusias,” ungkap Menpar Arief Yahya. 

Masih ada satu lagi, yang jika bermain sepak bola, Indonesia kalah 1-4 dari Australia. Seniman gamelan dan tarian Poedjiono, yang sudah 40 tahun tinggal di Melbourne, dan pernah menjadi dosen di Monash University itu, sudah mendidik lebih dari 14.000 pemain gamelan di Negeri Kanguru itu.

Di kota Melbourne yang dulu pernah menjadi ibu kota Australia, sebelum dipindah ke Canberra itu sendiri sudah ada sembilan group gamelan yang terus berkembang.

Tetapi Menpar Arief Yahya masih punya satu peluru lagi. Mahasiswa Indonesia di Australia ini punya perkumpulan pemain dan penggemar AFL – Australian Football League, yang stand-nya juga ikut tampil di Wonderful Indonesia Festival 2015 itu. Itu adalah sepak bola-nya Australia, terutama negara bagian Victoria, di mana ibu kotanya Melbourne.

Sepak bola dengan bola lonjong yang acap disebut Footy atau Australian Football itu lebih popular dan heroik daripada sepak bola-nya FIFA di Melbourne. “Kita punya itu, mereka ikut festival,” kata Arief Yahya sambil menunjuk di ujung dekat tugu, untuk mendapatkan satu skor buat Indonesia, 2-4. 

Tetapi masih ada satu yang belum dicatat. Minister for Finance and Minister for Multicultural Affairs Australia, Robin David Scott hadir di lokasi Festival, di tengah-tengah show, lalu menghampiri ke tenda Menpar Arief Yahya.

Bahkan, Scott yang berlatar belakang Partai Buruh Australia dan pernah menjadi anggota legislative tahun 2006 itu bangga mengenakan topi merah bertuliskan huruf putih, Wonderful Indonesia.

“Nah, sudah deh, nyerah kita, 2-5,” kata Arief Yahya, yang pernah dinobatkan sebagai The Best CEO BUMN, CEO Innovation Award, The Best CEO Finance Asia The Best CEO of The Year, Anugerah Business Review sepanjang tahun 2013 itu.

Skor itu, bisa dibaca, lebih banyak muda mudi Australia yang menggunakan karya budaya Indonesia dalam performance di Festival itu. Jika di juri, poinnya 2-5, ketinggalan 3 poin.

Sebagai sebuah multicultural message, festival itu sukses. Sebagai promosi pariwisata, event ini lebih sukses lagi. Melibatkan lebih banyak orang Australia, didampingi oleh komunitas anak-anak Indonesia di Melbourne yang sudah pasti mereka akan menjadi public relations yang baik buat negeri.

“Community development-nya juga dapat! Promosi dalam bentuk below the line juga kuat. Mengumpulkan sekian ribu orang di luar negeri, dan mereka happy oleh cultural performance, yang pemainnya sebagian juga berasal dari bangsa mereka sendiri, itu kombinasi yang perfect,” kata dia yang juga pernah menjadi The Best Green CEO Majalah Warta Ekonomi 2014, The Best CEO 2014 Indonesia Leadership Award SWA itu.

Memang, event ini oleh Kemenpar juga sudah dipromosikan di berbagai saluran media. Ada di National Geographic Australia, Fox Australia, Channel 7, Channel 9 Discovery Channel, CNN International, BBC World, Fox Sport, dan CNBC. Media cetaknya juga melibatkan, Sydney Morning Herald, Australian’s Women Weekly, Vogue Australia, dan Sophisticate Traveller.

Media luar ruangan, juga dijejali dengan brand Wonderful Indonesia dalam kemasan festival itu tepi sungat Yarra, yang lokasinya dekat dengan Melbourne Arts Center itu. Ada juga LED Flat Screen di Perth, Tram di Melbourne, Mega Tram di Melbourne, Billboard di kota Melbourne.

“Pola promosi kita memang menggunakan tiga lapisan sekaligus. Ada serangan darat media outdoor, cetak, liflet, dll. Ada serangan udara melalui media, online, TV. Dan below the line berupa events itu sendiri, yang langsung touch dengan public.”

“Kami punya target besar turis dari Australia. Sampai dengan tahun 2019, Australia saja kami target 2 juta lebih. Tahun 2015 ini, yang tinggal satu setengah bulan ini, target kami 1,1 juta wisatawan. Tahun 2016 diproyeksi naik 1,3 juta, dan peringkat nomor 4 setelah Singapore, Malaysia, dan Tiongkok,” jelas Arief Yahya, peraih Marketeer of The Year 2013, Markplus Conference 2014, The Most Inspirational CEO, Mens Obsession Award 2014 itu.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini