“Peluang dan tantangannya sama besar. Pasar sangat menjanjikan karena kekhasan dari tema etnik membuatnya tampil beda, sedangkan tantangannya masih minimnya SDM. Kalau tekstil masih bisa didatangkan dari Jakarta,” papar Nelisma, yang sudah 23 tahun bergelut di industri mode.
Tribun Travel bertandang ke butik Nelisma, Vinnel House yang beralamat di Jalan Teungku Pulo Dibaroh No 16 Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh baru-baru ini.
Nelisma yang tergabung dalam Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Cabang Aceh, menyasar kelas menengah sebagai konsumen karyanya.
Ia concern merancang busana ready to wear.
Sebut saja atasan berupa blus, bawahan berupa secarik kain, maupun terusan.
Untuk menenteng karya desainer paruh baya ini, pembeli harus merogoh kocek mulai Rp 500 ribu.
Nelisma mengaku awal mula terpikat etnik lantaran terinspirasi keindahan seni budaya dari dataran tinggi Gayo.
Motif tersebut lantas diaplikasikan dengan permainan warna dan bahan yang bisa diterima baik pasar lokal maupun nasional.
Di tangan perancang busana yang sudah beberapa kali menggelar fashion show tersebut, warna yang kental bernuansa keacehan seperti merah, kuning, hijau, dan hitam disulap lebih muda dan gaya dengan permainan warna yang soft dan natural.
Membuat busana etnik yang identik berat tampil kasual.
Ia memberi sentuhan etnik seperti motif deladu dari dataran tinggi Gayo dan bungong jeumpa (bunga khas Aceh) untuk menegaskan konsep busana yang diusung.
Pun begitu Nelisma tak menampik jika busana Aceh banyak dipengaruhi oleh India.
Ia sendiri mengaku banyak membaca referensi dengan mengunjungi museum.
Tempat kekayaan budaya bersemayam.
Saatnya busana etnik menjadi tuan di negerinya sendiri.