Ulat dewasa ini turun dari pohon menggunakan air liurnya yang berubah jadi benang halus nan kuat.
Setelah sampai di tanah, ulat-ulat itu akan mencari tempat paling tepat dan membangun kepompongnya.
Selain di tanah, ulat-ulat itu juga bisa membuat kepompong di lipatan daun, kertas, tumpukan sampah.
Bahkan tumpukan kain atau baju di lemari atau termpat terbuka yang bisa mereka jangkau.
Di fase turun dari pohon ini, saat tepat bagi warga untuk memanen ulat.
Bagi yang tidak suka mengonsumsi dalam bentuk ulat, warga biasanya menunggu hingga ulat-ulat itu berubah jadi kepompong.
Cita rasa ulat dan ungkrung memang beda. Ketika sudah jadi ungkrung, maka tubuhnya full protein dan zat-zat lain.
Ketika berbentuk ulat, masih mengeluarkan kotoran, bahkan kadang-kadang tinta.
Pekan pertama Januari 2016 adalah puncak masa panen ungkrung jati di Gunungkidul.
Para pemburu ungkrung berdatangan dari mana saja. Ungkrung memiliki nilai komersial yang cukup menggiurkan.
Sugiman (60), warga Dusun Nglipar Kidul, Nglipar, berburu ungkrung di sekitar wilayah Wonosari yang kaya pepohonan jati.
Dalam sehari ia bisa mendapatkan buruan antara 1 hingga 2 kilogram ungkrung.
Ada yang dikonsumsi sendiri, ada pula yang dijual.
Ungkrung berbentuk kepompong harga per kilogramnya berkisar Rp 70 ribu hingga Rp 80 ribu.