"Saat totalitas gerhana matahari berlangsung, suasana berubah gelap, korona Matahari pun terlihat indah berkilauan," ujarnya.
Ketakjuban itu membuat Thomas lengah dan lupa sesaat dengan tugasnya. Ia baru sadar saat fase totalitas gerhana hampir berakhir.
Beruntung, atasannya yang sudah berpengalaman berhasil memotret fase total gerhana itu dengan menggunakan teleskop lain.
Perasaan beruntung bisa menikmati gerhana matahari juga diungkapkan Jefferson Teng (35), wiraswasta sekaligus astronom amatir asal Lampung.
Secara kebetulan, ia bisa menyaksikan dua gerhana matahari yang terjadi selama 2009, yaitu gerhana matahari cincin pada 26 Januari dari kota kelahirannya, Bandar Lampung, dan GMT pada 22 Juli dari Shanghai, Tiongkok, kota tempatnya menempuh pendidikan.
Pengamatan GMT di Shanghai memberi pengalaman berbeda bagi Jefferson yang sejak kecil juga menyukai astronomi. Meski pengamatan gagal total karena mendung dan hujan tiba-tiba datang menjelang puncak gerhana, perubahan suasana selama totalitas gerhana tetap terasa.
"Suasana tiba-tiba jadi gelap. Lampu-lampu kota pun otomatis menyala. Saat bersamaan, suhu udara berubah jadi lebih dingin," kenangnya.
Menurut rencana, memotret sisa-sisa cahaya Matahari yang membentuk cincin berlian (diamond ring) sebelum gerhana matahari mencapai fase total pun tidak terlaksana.
Namun, hal-hal unik yang terjadi bersamaan dengan totalitas gerhana tetap memberi kesan mendalam bagi Jefferson.
Kekurangsempurnaan mengamati gerhana juga pernah dialami Wicak. Pada GMT 1988, ia seharusnya mengamati di Pulau Bangka.
Namun, karena feri yang ia tumpangi terlambat tiba di Bangka, ia pun hanya bisa memotret gerhana di atas kapal yang terus bergoyang.
"Gambar hasil pemotretan jelek semua, tetapi gerhana yang terekam mata tetap tersimpan di kepala dan hati," lanjutnya. (M. Zaid Wahyudi)