Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Membentang di wilayah tengah Aceh, Dataran Tinggi Gayo (DTG) merupakan ‘tiga bersaudara’ yang dipisahkan secara administratif.
Tanah Gayo merupakan daerah yang melingkupi tiga kabupaten: Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
Ketiga kabupaten ini, merupakan daerah bersaudara lantaran memiliki kesamaan tradisi, adat, serta bahasa.
Dipagari pegunungan serta Danau Lut Tawar yang membentang luas di bagian timur, Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, membuat panorama di daerah berhawa sejuk berketinggian rata-rata 1.200 hingga 1.800 Meter Dari Permukaan Laut (MDPL) memikat hati siapa saja yang datang.
Balap kuda melintasi air semarakkan Hari Jadi Kota Takengon.
Pacuan kuda tradisional
Daerah yang dikenal sebagai lumbung kopi arabika ini juga memiliki budaya yang telah diwariskan turun temurun sejak zaman kolonial Belanda.
Olahraga rakyat yang telah membudaya itu adalah pacuan kuda tradisional Gayo.
Secara bergiliran ketiga kabupaten tersebut menjadi tuan rumah perhelatan even tersebut.
Menggelar pesta rakyat sebagai perekat ketiga daerah sekaligus menjaga budaya tetap lestari.
Pasalnya, pacuan kuda tradisional, hanya diikuti para peserta dari tiga kabupaten di Gayo.
Pun begitu, pacuan kuda sudah menjadi salah satu khasanah budaya yang dimiliki provinsi yang pernah didera konflik berkepanjangan serta diluluh lantakkan bencana mahaduka bernama tsunami.
Bila di beberapa daerah lain memiliki sejumlah objek wisata yang bisa menjadi magnet bagi wisatawan domestik maupun turis asing, maka di Tanah Gayo, ada perhelatan pacuan kuda tradisional yang menjadi salah satu daya tarik bagi dunia pariwisata di Aceh.
Selain menjadi tontonan masyarakat, pacuan kuda tradisional juga menjadi ajang bergengsi bagi para pemilik kuda.
Yang tak kalah menarik, kuda-kuda pacu tersebut, ditunggangi oleh para joki yang umumnya berusia muda belia.
Tanpa pengaman, apalagi pelana, bahkan terkadang tidak menggunakan alas kaki.
Joki-joki cilik terlihat lihai mengendalikan kuda yang berlari kencang.
Gembita penonton yang melihat atraksi tersebut semakin membuat para joki cilik bernafsu memacu tunggangannya.
Tak jarang joki cilik ini terhempas di lintasan berpasir setelah lepas kendali dan terlempar dari punggung kuda.
Ada yang cedera karena jatuh serta terinjak kuda, dan ada pula yang mampu bangkit mengejar kembali kudanya.
Menegaskan kesan tradisional yang masih terasa kental pada setiap pelaksanaannya.
Atraksi pacuan kuda tradisional itu kembali digelar pada Senin, (22/2/2106) hingga sepekan ke depan, kecuali Jumat.
Mengambil lokasi di arena pacuan kuda M Hasan Gayo Kecamatan Pegasing, Kota Takengon.
Gembita olahraga rakyat itu dihelat dalam rangka memeriahkan HUT Kota Takengon ke-439.
“Kita sudah laksanakan rapat dengan Camat Pegasing, serta lima reje yang berada di kawasan arena Pacuan Kuda M Hasan Gayo. Perlombaan pacuan kuda yang diikuti tiga kabupaten bertetangga ini diharapkan berjalan lancar dan sukses, seperti sebelumnya,” kata Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Aceh Tengah, Subhan Sahara.
Pacuan kuda tradisional semarakkan Hari Jadi Kota Takengon.
Dalam even serupa tahun lalu, Bupati Aceh Tengah, Ir H Nasaruddin MM, membuka secara resmi lomba pacuan kuda tradisional tanpa pelana di lapangan Blang Bebangka, Kecamatan Pegasing, Senin (23/3/2015).
Sebanyak 352 ekor kuda dari tiga kabupaten, Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues serta Pordasi Aceh telah diboyong ke lokasi pertandingan.
Pacuan kuda tradisional itu dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-438 Kota Takengon yang digelar selama tujuh hari, dari Senin (23/3) sampai Minggu (29/3), kecuali pada hari Jumat tidak ada pertandingan.
Nasaruddin dalam sambutannya berharap agar warga ikut menjaga keamanan, ketertiban dan kenyamanan selama lomba digelar.
Pada Februari 2014, perhelatan pacuan kuda tradisional tanpa pelana di Kabupaten Aceh Tengah berlangsung meriah.
Perlombaan yang telah dimulai pada Senin (17/2/2014) atau bertepatan dengan HUT Kota Takengon ke-437 dilaksanakan di Lapangan Pacuan Kuda HM Hasan Gayo, Blang Bebangka, Kecamatan Pegasing dihadiri seribuan warga, termasuk ratusan pedagang.
Perhelatan serupa juga digelar di Bener Meriah dan Gayo Lues, juga dalam rangka memeriahkan HUT ke kedua kabupaten tersebut secara bergiliran dari tiga kabupaten itu.
Sedangkan Aceh Tenggara yang juga memiliki kuda, tidak pernah mengikuti lomba.
Bila ingin merasakan sensasi menunggang kuda atau ingin menjadi joki, para pengunjung bisa juga menyewa ataupun merental kuda-kuda pacu.
Tentunya didampingi para guide.
Merasakan pengalaman mengesankan menjajal dataran tinggi Gayo.
Lokasi dan waktu
Olahraga rakyat berupa pacuan kuda di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues, memang dilaksanakan secara bergantian.
Di Kabupaten Aceh Tengah, pacuan kuda tradisional sudah menjadi agenda tahunan.
Diselenggarakan dua kali dalam setahun yaitu Februari dalam rangka memeriahkan hari jadi Kota Takengon serta pada Bulan Agustus dalam rangka memeriahkan HUT RI.
Berbeda dengan Kabupaten Bener Meriah.
Pelaksanaan pacuan kuda tradisional di daerah itu, dilakukan lebih awal.
Jadwal pelaksanaan pacuan kuda di daerah yang berada di kaki Gunung Merapi Burni Telong, dilaksanakan di Bulan Januari setiap tahunnya.
Kegiatan itu dilaksanakan juga dalam rangka memperingati hari jadi Kabupaten Bener Meriah.
“Pelaksanaan pacuan kuda di Bener Meriah, biasa kita laksanakan di minggu pertama di Bulan Januari. Selain mengisi hari jadi Bener Meriah, juga sudah menjadi hiburan bagi warga di daerah ini,” kata Sekda Pemkab Bener Meriah, Ismarissiska.
Menurut Ismarissiska, pelaksanaan pacuan kuda tradisional di daerah itu, merupakan agenda rutin yang harus dilaksanakan di kabupaten yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Tengah, 12 tahun silam.
Even pacuan kuda, di daerah penghasil kopi itu, tidak bisa dipisahkan dari masyarakat lantaran sudah menjadi bagian dari hiburan rakyat.
Pada saat itu arena pacuan kuda menjadi lautan manusia yang tumpah ruah menyaksikan atraksi budaya warisan leluhur.
Lain lagi di Kabupaten Gayo Lues, pelaksanaan pacuan kuda diselenggarakan di Bulan September setiap tahunnya.
Usai pelaksanaan di Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Tengah.
Para pesertanya, juga berasal dari tiga kabupaten, sehingga setiap dilaksanakan pacuan, tidak kurang dari 300 ekor kuda pacu ikut ambil bagian menunjukkan kebolehannya.
Lebur bersama sorak sorai penonton yang menempel di lintasan pacuan.
Akomodasi
Pacuan kuda di Kabupaten Aceh Tengah, dilaksanakan di arena pacuan kuda H M Hasan Gayo, Blang Bebangka, Kecamatan Pegasing, kabupaten setempat.
Arena pacuan yang berada di bagian barat, Kota Takengon, bisa ditempuh dengan waktu sekitar 20 menit dari ibukota Kabupaten Aceh Tengah, atau berjarak sekitar enam kilometer dari pusat Kota Takengon.
Bila dari Banda Aceh yang menjadi ibukota Provinsi Aceh, menuju Kota Takengon, membutuhkan waktu antara 7-8 jam, dengan jarak tempuh sekitar 318 kilometer.
Selanjutnya bila dari provinsi tetangga, Medan, Sumatera Utara, membutuhkan waktu sekitar 12 jam, dengan jarak tempuh sekitar 457 kilometer menuju Kota Takengon.
Sedangkan pacuan kuda di Kabupaten Bener Meriah, dilaksanakan di Lapangan Sengeda, Kampung Karang Rejo, Kecamatan Bukit, kabupaten setempat.
Lokasi lapangan pacuan kuda ini, hanya berjarak sekitar empat kilometer dari pusat kota Kabupaten Bener Meriah.
Namun berada di ‘bibir’ landas pacu Bandar Udara (Bandara) Rembele, karena lokasinya bersebelahan dengan bandara.
Menuju arena pacuan kuda Sengeda, Kabupaten Bener Meriah dari Banda Aceh maupun dari Medan, Sumatera Utara, jarak tempuhnya tidak jauh berbeda dengan jarak maupun waktu tempuh ke Kota Takengon.
Hanya selisih sekitar 30 menit, lantaran kedua kabupaten ini, merupakan daerah bertetangga.
Sedangkan di Kabupaten Gayo Lues, pelaksanaan pacuan kuda diselenggarakan di Lapangan Buntul Nege, Blang Sere, Blang Kejeren.
Seiring dengan mulai membaiknya sarana jalan menuju wilayah tengah Provinsi Aceh itu, bermunculan bermacam angkutan umum yang menawarkan kenyamanan selama perjalanan menuju maupun keluar dari daerah dataran tinggi itu.
Bila enggan menempuh jalur darat yang memakan waktu bisa berjam-jam dengan jarak tempuh ratusan kilometer, para wisatawan yang ingin menyaksikan pacuan kuda tradisional, bisa menempuh jalur udara.
Saat ini pelayanan transportasi udara menuju wilayah tengah Aceh, melayani penerbangan tiga kali dalam sepekan dengan tujuan, dari Bandara Internasional Kualanamu, Medan, Sumatera Utara, menuju Bandara Rembele, Kabupaten Bener Meriah.
Jadwal penerbangan menuju Kabupaten Bener Meriah dari Bandara Internasional, Kualanamu Medan, Sumut, dan sebaliknya hanya ada di hari Selasa, Kamis dan Sabtu, menggunakan pesawat perintis Susi Air tipe Cessna C-2088 dengan kapasitas 12 orang.
Untuk tujuan Bandara Rembele menuju Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM), Banda Aceh, untuk sementara tidak ada penerbangan sehingga harus melalui jalur darat.
Bila sudah berada di Kota Takengon, para pengunjung tidak perlu kesulitan untuk mencari sarana transportasi dari lokasi penginapan menuju arena pacuan kuda tradisional di Blang Bebengka, Kecamatan Pegasing.
Jarak tempuh dari pusat kota yang hanya enam kilometer, banyak pilihan angkutan umum, mulai dari angkot hingga becak motor.
Tentunya dengan tarif yang bervariasi, namun dipastikan bersahabat dengan kantong.
Bila ingin berkunjung ke Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, untuk menyasikan pacuan kuda tradisional Gayo, banyak pilihan sarana angkutan dengan tarif tergantung jenis kendaraan yang ingin ditumpangi.
Untuk jalur darat dari Medan, Sumut menuju Kota Takengon, menggunakan bus dengan tarif Rp 140 ribu – Rp 200 ribu per penumpang, tergantung kondisi bus.
Adapun untuk angkutan bus Medan-Takengon, ada delapan perusahaan angkutan diantarannya Putra Pelangi, Sempati Star, Aceh Tengah, Kurnia, PMTOH, Harapan Indah, Royal dan bus Sanura.
Sedangkan untuk minibus L300, untuk trayek Medan-Takengon, juga sebaliknya ada beberapa perusahaan angkutan dengan jumlah armada mencapai puluhan unit.
Beberapa perusahaan minibus L300 trayek Medan-Takengon, diantaranya Lestari Baru Tour, Lestari Jaya Tour, Mitra Jasa, dan Express Tour, dengan tiket sekitar Rp 170 ribu/penumpang.
Sedangkan untuk trayek Banda Aceh-Takengon dan Bener Meriah, hanya angkutan jenis minibus L300 lantaran bus tidak ada jurusan Takengon-Banda Aceh.
Harga tiket normal untuk trayek tersebut, ditetapkan dengan harga sekitar Rp 130 ribu/penumpang.
Lain lagi ongkos dari Kota Takengon menuju lapangan pacuan kuda HM Hasan Gayo, Blang Bebangka, Kecamatan Pegasing.
Bila menggunakan mopen jenis sudako, dikenakan ongkos sekitar Rp 6.000/ penumpang. Untuk angkutan becak motor, harga ongkos relatif berubah-ubah, tergantung penawaran antara calon penumpang dengan abang becak.
“Kalau saya biasa mengambil ongkos sekitar Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu dari kota ke lapangan pacuan kuda. Ya kalau nggak pintar-pintar menawar, ongkosnya bisa sampai Rp 50 ribu,” kata salah seorang abang becak di Kota Takengon, Mahator.
Kondisi Aceh, paska damai tahun 2005 silam, memberikan efek domino bagi semua sektor kehidupan, serta perkembangan ekonomi masyarakat di Provinsi Aceh.
Salah satunya, bisnis perhotelan serta penginapan yang sempat terbenam ketika konflik, kini mulai menjamur.
Bila di tahun 1990 an, Hotel Renggali yang berada di pesisir Danau Lut Tawar, sempat menjadi ikon dunia perhotelan di Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah.
Namun seiring dengan mulai berkembangnya daerah tersebut, sehingga bermunculan penginapan maupun hotel di Kota Takengon.
Ya, jumlahnya juga cukup banyak, mulai dari kelas penginapan, hingga hotel berbintang sudah ada di kota dingin itu.
Tak jarang juga, semua hotel-hotel itu, dipenuhi para pengunjung yang datang dari berbagai daerah dengan kepentingan yang berbeda pula.
Jadi, bila ingin berkunjung ke Kota Takengon, untuk menyaksikan even pacuan kuda, tidak perlu lagi ragu dengan penginapan karena banyak pilihan.
Fasilitas yang diberikan, juga tak kalah dengan hotel-hotel di daerah lain. Satu hal yang paling unik, meski pemilik hotel memasang fasilitas Air Conditioner (AC) di kamar-kamar dengan tarif sedang, namun bagi para pengunjung sangat jarang menggunakan fasilitas itu.
Alasannya, AC alam tak pernah padam, meskipun listrik mati karena daerah itu, merupakan daerah berhawa sejuk.
Ada beberapa penginapan maupun hotel di Kota Takengon.
Tentunya dengan tarif berbeda, tetapi masih bisa dijangkau.
Mulai dari Rp 100 ribu/ malam, hingga paling mahal Rp 1 juta juga ada.
Beberapa hotel di Kota Takengon di antaranya Hotel Bunda di Jalan Lebe Kader, Kota Takengon, Hotel Bayu Hill di Jalan Lebe Kader, Hotel Linge Land di Jalan Yos Sudarso, Hotel Mahara di jalan Sengeda, Hotel Renggali, Hotel Grand Penemas di Jalan Lintang, Kota Takengon.
Tinggal sesuaikan dengan kebutuhan dan kantong anda.
Pastinya menjajal dataran tinggi Gayo akan menyuguhkan pengalaman berbeda.
Menengok wajah lain dari bentang alam Aceh.