News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Wisata NTT

Benteng None yang Misterius di NTT, Kurang Diminati Wisatawan Lokal Tapi Disukai Turis Asing

Editor: Agung Budi Santoso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pintu masuk Benteng None di Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.

Setelah diketahui arah kedatangan musuh, para meo akan melanjutkan ritual selanjutnya yakni ote naus atau mengukur kekuatan dan meramalkan hasil dari perang yang akan segera dilakukan.

Dimana dalam ritual ote naus ini, sebuah tongkat akan menjadi alat pertama yang digunakan untuk meramalkan hasil peperangan yang akan dilakukan ini.

Dimana meo yang ditunjuk untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan tongkat tersebut akan memegang ujung tongkatnya, kemudian ujung lain tongkat tersebut akan dilekatkan pada tiang lopo (rumah adat) yang dikhususkan untuk ritual ote naus dan jika kuku jari jempol meo tersebut tidak menyentuh tiang lopo tersebut itu pertanda akan mengalami kekalahan.

Tahapan selanjutnya pada ritual ote naus adalah menggambar empat penjuru mata angin pada sebutir telur ayam kampung untuk menentukan strategi apa yang digunakan dalam peperangan tersebut.

Namun jika tahapan awal kuku meo tidak menyentuh tiang, pasti akan terdapat darah dalam telur tersebut yang juga menandakan kekalahan.

"Kalau kukunya tidak kena tiang, pasti saat telur dipecahkan akan ada darah yang berarti kita akan kalah sehingga harus dilakukan pengamatan ulang. Tetapi kalau kukunya kena tiang pasti telurnya pasti tidak ada darah, sehingga kita akan menang. Jadi semua pasukan akan disebar untuk pergi berperang," jelas Tauho.

Sementara untuk bol nu'ut menurut Tauho terdapat dua unit di benteng tersebut, sehingga menurut Tauho dan Selan merupakan sistem pertahanan di dalam benteng ini, sehingga dua orang meo akan ditugaskan untuk menjaga keamanan benteng tersebut dengan siaga dengan senjata selama pasukan keluar berperang, sehingga jika ada musuh yang mendekati benteng, kedua meo ini harus menembak mati musuh tersebut, dan jika sudah ada musuh yang ditembak mati maka peperangan dianggap selesai.

"Sistem perang dulu tidak seperti sistem perang saat ini, sehingga semua musuh harus dibunuh. Tetapi cukup satu musuh yang dibunuh, entah itu menggunakan tombak, senapan, atau parang.

Perang dianggap selesai, dan kita akan memenggal kepala musuh yang mati dan dibawa pulang ke benteng, untuk kemudian dikeringkan sebelum dibungkus dengan kain selimut untuk diantar ke istana raja," jelasnya.

Menurut Tauho dalam peperangan yang pernah dilakukan oleh para meo Amanuban ini, terdapat 18 musuh yang berhasil dibunuh dan kepalanya dikeringkan di Benteng None sebelum diantar ke hadapan raja.

"Setelah bawa kepala musuh sampai di benteng ini, akan ada upacara kemenangan dengan berpesta selama empat hari, sambil kepala manusia tersebut dipanggang diatas nyala api, sehingga setelah pesta kemenangan empat hari selesai, kepala manusia tersebut sudah kering dan sudah tidak berbau lagi. Saat itu barulah dibungkus dengan kain selimut dan diantar ke hadapan raja untuk myakinkan raja bahwa kita sudah menang dalam medan perang. Jadi saat itulah raja akan mengakui bahwa kita benar adalah panglima perang," tandasnya.*

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini