TRIBUNNEWS.COM, LHOKSEUMAWE - Sejumlah orang menyeruput kopi di Taufik Kopi 2, Lhokseumawe, Aceh, Minggu (17/4/2016).
Sebagian sambil berdiskusi ringan, sebagian lagi sibuk dengan laptop di depannya.
Kopi Aceh. (Serambi Indonesia/Nurul Hayati)
Warung itu menyediakan WiFi gratis untuk seluruh pengunjung.
Di depan meja terhidang lepat nagasari, boh rom-rom (penganan khas Aceh), risol dan sejumlah makanan lainnnya.
Semua kalangan berkumpul di warung itu.
Dari mahasiswa, pejabat hingga pekerja swasta. Nyaris tidak sepi saban hari.
Warung yang didirikan dua tahun lalu itu mendaulat nama besar Taufik Kopi.
Sang pemilik warung, Abdullah, awalnya membukanya di kawasan Kuta Blang, Lhokseumawe.
Setahun beroperasi, Abdullah lalu membuka Taufik Kopi 2 di kawasan pusat kota.
Jangan salah dulu, Taufik Kopi di Lhokseumawe dengan Taufik Kopi di Banda Aceh berbeda pemilik dan manajemen.
Ilustrasi kopi.
“Namun, kami memang saudara. Maka nama Taufik tetap melekat di warung ini,” sebut Abdullah kepada KompasTravel.
Sesuai namanya, warung ini menyediakan kopi. Bubuk kopi itu dibeli dari Pabrik Kopi Taufik di Banda Aceh.
Masyarakat Aceh mengenalnya dengan sebutan kopi saring.
“Semua asal biji kopi tentu diperoleh dari Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Setelah itu baru diproduksi di Taufik Banda Aceh. Dari sana lah bubuk kopi yang kami gunakan berasal,” sebut Abdullah.
Saat awal membuka warung kopi dua tahun lalu, Abdullah sama sekali tidak ragu kopinya tak akan diminati.
Dia bahkan optimis bersaing dengan warung kopi lainnya yang lebih dulu hadir di Lhokseumawe.
“Kopi ini soal rasa. Begitu dicicipi nikmat, penikmat kopi tak kan lari ke warung lain. Itu catatannya khusus penikmat kopi. Kalau bukan penikmat kopi, maka dia tak akan paham rasa kopi yang nikmat,” sebut Abdullah.
Ayah satu putri ini menyebutkan, kini untuk kedua warungnya saban bulan dia membutuhkan 300 kilogram bubuk kopi per hari.
Sedangkan khusus kopi Arabica, maka Abdullah mendatangkan langsung biji kopi dari Aceh Tengah dan diproduksi di warungnya. “
"Saya minta biji kopi Arabica yang kualitas bagus. Harganya sekitar Rp 200.000 per kilogram untuk memproduksi kopi Arabica,” ujarnya.
Warung itu buka sejak pukul 08.00 WIB hingga tengah malam.
Dia mempekerjakan 20 orang karyawan untuk dua warung kopiya.
Apakah menguntungkan membuka warung kopi di tengah banyaknya warung kopi di Aceh?
“Masih menguntungkan. Catatannya rasanya harus nikmat. Jika tidak, pelanggan akan lari,” terang Abdullah.
Dia berhasil meraup laba bersih sekitar Rp 30 juta per bulan. Laba itu terbilang besar untuk persaingan warung kopi yang kian banyak di Aceh saat ini.
Kini, kopi merupakan salah satu bisnis yang menjanjikan di Aceh. Tinggal lagi, menjaga cita rasa dan layanan untuk pelanggan yang baik.
“Saya optimis kopi terus diminati, karena masyarakat kita memang pecinta kopi,” pungkasnya.
Kompas.com/Masriadi