TRIBUNNEWS.COM - Tak seperti proses pengawetan pada mumi-mumi kebanyakan seperti di Mesir masa Firaun, di Jiwika Papua digunakan lemak babi.
Hal tersebut dijelaskan oleh backpacker hijab cantik Devanosa.
Gadis bernama lengkap Dewi Patlia Novitasari kepada Tribunnews.com melalui email, Jumat (22/4/2016) menjelaskan secara rinci proses pengawetan mumi setelah ia berkunjung ke Desa Jiwika, Kecamatan Kurulu, Lembah Baliem, Papua.
Baca sebelumnya: Devanosa, Backpacker Hijab Cantik 'Kenalkan' Mumi Asli Indonesia, Simak Kisahnya
Dev mendapat kisah lengkap terkait mumi tersebut setelah mendapat cerita dari penjaga mumi, Yakobus.
Mumi yang ia ulas merupakan panglima perang Suku Mabel yang bernama Wimontok Mabel.
Menurutnya sosok tersebut konon sebelum meninggal sempat mewasiatkan agar mayatnya diawetkan seperti tradisi beberapa suku di Papua.
"Honai menjadi rumah khusus untuk proses pengawetan, bukan dengan balsem-seperti yang saya pikir pada awalnya, tetapi dibaluri lemak babi kemudian diasapkan."
"Itulah mengapa mumi ini cenderung kering kerontang dan berwarna begitu legam," tulis Dev via email kepada Tribunnews.com.
Di Instagram dari foto yang ia pajang terkait mumi, Dev menulis bahwa ada larangan untuk memegang.
Hanya kepala suku atau orang-orang terpilih yang boleh memegang mumi tersebut.
Adakah pengalaman mistis atau kisah terkait pelanggaran larangan tersebut?
Menjawab pertanyaan ini Dev mengaku saat di desa tersebut tak mengalami peristiwa mistis atau mendengar wisatawan yang pernah melanggar hal tersebut.
Menurutnya penjaga mumi hanya mengantisipasi terjadi kerusakan pada mumi bila disentuh atau dipegang oleh orang yang tidak paham betul.
Berikut Dev mengisahkan secara lengkap di Instagram miliknya.
INSTAGRAM/DEVANOSA - Dev mengisahkan perjalanannya di Desa Jiwika terutama lokasi aikon wisata mumi asli Indonesia melalui Instagram miliknya.
MUMI JIWIKA
"Saya boleh berfoto sambil memegang mumi ini Bapak ?"
Tidak kupungkiri, aku sungguh ingin memiliki rekaman momen terbaik bersama mumi asli Indonesia ini.
Bapak Yakobus menggelengkan kepalanya.
Dijelaskannya bahwa hanya kepala suku dan orang-orang terpilih yang boleh menyentuh dan mengeluarkan mumi ini dari tempat persemayaman.
Sosok mumi ini bukan orang sembarangan. Ia adalah panglima perang Suku Mabel yang bernama Wimontok Mabel.
Sebelum meninggal ia sempat mewasiatkan agar mayatnya diawetkan seperti tradisi beberapa suku di Papua.
Honai menjadi rumah khusus untuk proses pengawetan, bukan dengan balsem-seperti yang aku pikir pada awalnya, tetapi menggunakan asap.
Rasa penasaranku pun terjawab mengapa mumi ini cenderung kering kerontang dan berwarna begitu legam.
Sembari mengambil beberapa gambar, aku mengelilingi Mumi Wimontok Mabel dengan begitu teliti.
Bapak Yakobus tak sedikitpun melepaskan pegangannya dari Mumi.
Sungguh, aku yang bukan fotograper saja, merasa begitu terganggu dengan beberapa bagian tubuh Bapak Yakobus yang masuk kedalam bingkai.
Tapi itulah sebuah aturan yang harus kupatuhi.
Mataku memicing pada beberapa ruas tali-tali kecil yang dikalungkan dileher si Mumi.
Konon baru ku ketahui bahwa tali tersebut terbuat dari kayu Nekemo-bahan baku yang sama untuk membuat noken.
"Berapa umur mumi ini Pak ?" Aku kembali cerewet. Bapak Yakobus tersenyum sedikit.
Mungkin ia sudah menebak pertanyaan yang akan kuajukan.
"Tiga ratus tujuh puluh dua tahun. Tali-tali kecil inilah yang menjadi cara kami mengukur umur.
Setiap enam tahun sekali kami mengadakan upacara khusus untuk menambahkan kalungnya"
Bapak Yakobus menjabarkan. Mungkin baginya pertanyaanku termasuk pertanyaan yang paling sering diajukan oleh pengunjung.
Untuk Mumi berumur ratusan tahun, aku merasa jumlah kalungnya begitu sedikit. Belakang Bapak Yakobus memberitahu bahwa beberapa kalung memang ada yang sudah lapuk hingga dilepas dan disimpan secara khusus.
Menarik sekali ketika kusadari bahwa tubuh mumi ini ternyata lebih tangguh daripada kalung penanda usianya. (SELESAI)
#keluyurandinusantara #papua. (*)