TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pariwisata menyiapkan tiga strategi untuk mengembangkan pariwisata kuliner. Tujuannya agar semakin go international.
Ketiga strategi tersebut adalah memperkenalkan makanan nasional, sertifikasi destinasi kuliner, dan co-branding Wonderful Indonesia dengan restoran di luar negeri. Tiga strategi itu dikenal dengan Diaspora Restaurant.
“Pak Presiden Jokowi pada pertengahan tahun lalu berucap, diplomasi terbaik di dunia baik secara sosial budaya maupun ekonomi, adalah melalui kuliner. Dan memang benar itu sudah dipakai beberapa negara di Asia,” kata Ketua Tim Percepatan Pengembangan Pariwisata Kuliner dan Belanja Kementerian Pariwisata RI, Vita Datau Messakh.
Hal itu disampaikan saat Workshop Matching CeO, Digital Destinasion, Diaspora Restaurant With Co Branding Parners di Jakarta, Selasa (20/3).
Bukan tanpa alasan Kemenpar menjalin kerjasama dengan berbagai pelaku kulier luar negeri. Tujuannya adalah untuk meningkatkan awareness tentang kuliner Indonesia. Khususnya di masyarakat dunia.
Vita juga menjelaskan, kerjasama ini juga akan membentuk pandangan dan reputasi yang positif tentang kuliner Indonesia. Dan yang terakhir tentunya meningkatkan minat wisatawan asing untuk berkunjung ke Indonesia.
“Tahun 2018 ini, targetnya 100 restoran yang tersebar diberbagai target market yang potensi mendatangkan wisatawan ke Indonesia. Baik Amerika, Eropa, hingga Asia,” ujarnya.
Vita yang juga Ketua Akademi Gastronomi Indonesia (AGI) menyebut, Kamis (22/3) akan melakukan penandatangaan (MoU) dengan 10 restoran. Yaitu yang ada di Australia, Singapura, Malaysia, Belanda, Perancis, dan Amerika Serikat.
“Batch kedua nantinya akan kita lakukan. Targetnya 100 ditahun 2018. Restorannya berasal dari Jepang, Hongkong dan China, Inggris, Korea, Thailand, Spanyol dan lainnya. Targetnya juga jelas, terdapat Travel Agent sesuai originasi, Komunitas pecinta makanan dan travel orginiasi, Akademi Gastronomi originiasi, Media & blogger originiasi, Kritikus makanan Originasi, Diaspora Indonesia Originasi, Pelaku Restauran Indonesia yang juga sesuai orginasi,” pungkas Vita.
Menteri Pariwisata Arief Yahya juga angkat bicara tentang diplomasi kuliner. Menurutnya Ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk melakukan diplomasi kuliner.
Pertama menetapkan national food, karena kita belum punya, sementara negara lain sudah melakukannya. Kedua, menetapkan destinasi kuliner. Dan ketiga, mempromosikan dan mem-branding restoran Indonesia yang sudah ada di luar negeri (resto diaspora).
“Namun ini adalah nice problem karena kita terlalu banyak pilihan. Akhirnya dari hasil diskusi Kemenpar, Bekraf, Kemenlu, dan BKPM menetapkan soto sebagai makanan nasional Indonesia. Namun Kemenpar menetapkan rendang, soto, nasi goreng, sate, gado-gado sebagai 5 makanan nasional. Sementara untuk minuman diputuskan kopi sebagai minuman nasional,” urai Arief.
Pria Berdarah Banyuwangi itu juga menyebut, sektor kuliner dalam industri pariwisata menyumbang sekitar 30 – 40 persen pendapatan pariwisata.
Ekonomi kreatif berkontribusi sebesar 7,38 persen terhadap perekonomian nasional dengan total PDB sekitar Rp 852,24 triliun, dari total kontribusi tersebut subsektor kuliner menyumbang 41,69 persen.
“Diplomasi terbaik di dunia baik secara sosial budaya maupun ekonomi adalah melalui kuliner. Kuliner adalah diplomasi ekonomi paling halus (soft diplomacy). Saya meyakini resto-resto Indonesia di luar negeri ini akan menjadi channel diplomasi kuliner yang sangat ampuh untuk mempromosikan Indonesia di luar negeri,” jelasnya.