Oleh : Rieke Diah Pitaloka
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Bila kita cermati, di negara yang tengah dilanda perang, dalam keadaan sesulit apapun, kegiatan ekonomi rakyat biasanya tetap berjalan. Di layar kaca kita biasa melihat bagaimana pasar tradisional tetap berfungsi.
Manakala ada serangan bom, terjadi kepanikan sesaat, mereka menghentikan kegiatannya namun ketika situasi sudah dianggap aman mereka kembali menggelar dagangannya. Hal seperti itu bersifat alami, terjadi di mana saja di dunia. Indonesia di era revolusi, perang Korea, Vietnam, Lebanon, Palestina, Irak, Afganistan, dll, mengalami hal yang sama.
UKM adalah jenis usaha yang selalu ada dalam keadaan perang dan damai. UKM adalah jenis usaha yang benar-benar mandiri. Ia tumbuh oleh dorongan alami, dorongan bawah sadar, manusia perlu hidup dan menghidupi keluarga.
Kekuatan perekonomian suatu negara sangat ditentukan oleh sejauh mana negara mampu menciptakan iklim sehat bagi tumbuh dan berkembangnya Usaha Kecil Menengah (UKM). Negara-negara maju, sekapitalis apapun, tidak ada yang berani menafikan eksistensi UKM-nya.
Pertokoan, rumah makan, industri kerajinan, dll, adalah basis perekonomian negara. Negara-negara maju sangat menjaga iklim usaha, sedemikian rupa, agar UKM tidak terlindas akibat kerakusan dan/atau kebuasan pengusaha besar/raksasa. Untuk kepentingan itu, di semua negar maju ada undang-undang anti monopoli (Anti Monopoli Law atau Anti Trust Law).
Jepang, sebagai misal, menerapkan secara sadar dan terencana, apa yang oleh mereka disebut sebagai ‘Ekonomi Gunung Fuji’. Pengusaha besar/raksasa dianalogkan sebagai selimut salju tetap, yang menyelimuti puncak gunung. Selimut salju yang dari kejauhan terlihat indah dan mentereng itu sesungguhnya bersifat ‘tidak permanen’.
Di bagian terbawah salju, es mencair untuk kemudian diganti oleh es yang berada di atasnya. Demikian siklus abadi berlangsung beribu dan berjuta tahun. Yang pasti selimut salju bertumpu atau menumpu di atas badan gunung yang berdiri kokoh.
Selumut salju adalah gambaran perusahaan-perusahaan raksasa (sogo-sosha) dan badan gunung yang kokoh itu, adalah gambaran keberadaan ratusan ribu atau juta perusahaan kecil dan menengah (UKM). Setiap tahun ribuan UKM gulung tikar namun pada saat yang sama ribuan pula lahir dan muncul UKM baru.
Terjadi di sini seleksi alami, bahwa yang terkuat (dalam arti yang menjalankan usahanya secara konsisten, mencintai bidang yang digeluti, yang efektif, dan efisien) yang akan bertahan hidup sekaligus memiliki peluang untuk menjadi besar.
Kisah sukses pengusaha UKM seperti Otani, pedagang kacang (pedagangkecil) yang menjelma menjadi pengusaha/pemilik hotel terbesar di Jepang, New Otani, atau pengusaha bengkel motor Honda yang menjelma menjadi salah satu perusahaan mobil terbesar dan terkuat dunia, banyak menginspirasi pengusaha kecil/menengah di belahan dunia lainnya.
Pelajaran apa yang dapat ditarik dari cerita tersebut? UKM substansinya adalah jenis usaha wirausaha/wiraswasta, jenis usaha yang mengandalkan kepercayaan diri, keuletan, dan kemampuan inovasi.
Bagaimana kondisi UKM di Indonesia? Hingga kini UKM sepertinya masih diposisikan sebagai jenis/kelas usaha lemah yang harus dilindungi yang untuk hidupnya perlu ‘ditolong’ pemerintah. Janji atau program bantuan permodalan biasanya menjadi iming-iming yang membius dan melenakan. Janji atau program yang lebih bersifat retorika atau sekedar menjadi jargon politik penguasa.
Dalam pelaksanaan janji dan program bantuan tidak jarang malah menjadi lahan korupsi penyelenggaranya. Kebutuhan pemodalan biasa diidentikan sebagai hal mutlak untuk hidup dan berkembangnya UKM. Hal yang sesungguhnya tidak selalu benar. Jauh lebih penting yang dibutuhkan UKM adalah iklim kondusif agar mereka dapat melakukan kegiatan usahanya dengan tenang. Mereka memerlukan kepastian usaha.