News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Korupsi

Pak Ustad Terserat Korupsi

Editor: Rachmat Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Maman Immanulhaq

Oleh Maman Imanulhaq

TRIBUNNEWS.COM--Jelang Pemilu 2014 suhu politik makin memanas. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah panasnya suhu politik di Indonesia.

Kemarin malam masyarakat dikejutkan dengan datangnya sejumlah penyidik KPK ke kantor DPP PKS dibilangan Jl TB Simatupang dan langsung membawa Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq ke kantor KPK di Kuningan, Jakarta. Lutfi Hasan Ishaq ditetapkan sebagi tersangka penerima suap sebesar Rp 1 Miliar terkait impor daging sapi dan di duga melanggar pasal 12 UU no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

PKS, partai yang terkenal bersih dan bebas dari noda, semakin meyakinkan publik bahwa semua kader partai politik, tak terkecuali Partai Islam seperti PKS ini atau berbasis Islam seperti PPP, PAN dan PKB, banyak yang menjadi tersangka karena korupsi oleh KPK ataupun penegak hukum lainnya, bahkan sudah ada yang menjadi narapidana dan sudah bebas menghirup udara bebas.

Ambil missal: M Nazaruddin, Angelina Sondakh (Demokrat) Paskah Suzetta, Bobby Suhardiman, Hamka Yamdu, Anthony zeidra Abidin, Zulkarnaen Djabar (Golkar), Panda Nababan, Emir Moeis, Agus Condro, poltak Sitorus (PDIP) Bachtiar Hamsyah, Al Amin Nasution, Endin Soefihara, sofyan usman (PPP) Waode Nurhayati(PAN) Yusuf Emir Faisal (PKB). Bagaimana PKS?.

Walaupun telah sering disebut, kader PKS terlibat korupsi seperti Tamsil Linrung di badan anggaran DPR RI, dan Menteri pertanian sejak jaman Anton Apriyantono sampai Suswono yang diduga memonopoli masalah impor daging sapi, baru kali ini kader PKS tersandung kasus korupsi. Tidak tanggung-tanggung, yang ditangkap adalah Presiden PKS. Luthfi Hasan Ishaq.

Sebagai salah satu coordinator Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KOMPAK) bersama tokoh masyarakat sipil lainnya, saya yakin bahwa KPK bergerak dengan data yang valid, informasi akurat serta bukti yang cukup sehingga berani langsung menetapkan LHI menjadi tersangka.

Dukungan publik kepada KPK membuat lembaga pemberantasan korupsi ini KPK semakin tajam dalam melakukan penindakan. Setelah beberapa orang eksekutif dan legislatif serta Jenderal Polisi ditangkap, kini partai yang mengusung jargon, “Bersih dan Peduli” inipun disambanginya tanpa ragu-ragu.

Kegelisahan saya bukan hanya pada masa depan Negara ini, seperti yang diungkapkan KH. Abdurrahman Wahid, Gus Dur pada saya pada tanggal 7 Desember 2009 di kantor PBNU, “ Negeri ini tidak akan pernah hancur karena bencana apalagi karena berbeda.

Negeri hanya akan hancur karena kebejatan moral. Dan itu adalah prilaku korupsi”. Kegelisahan saya karena para koruptor menyembunyikan prilaku mereka dibalik jubah agama. Lalu bagaimana agama memandang korupsi ini?.

Indonesia merupakan negara yang paling relijius di dunia, hampir tidak ada toleransi terhadap pilihan untuk tidak beragama. Pada saat yang sama Indonesia juga merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam terbesar di dunia, lebih dari 80 persen dari 220 juta penduduk adalah muslim.

Akan tetapi realitas yang terjadi menunjukkan posisi yang sangat ironis, sebagai negara yang paling relijius ternyata juga sekaligus menjadi negara terkorup di dunia.

Korupsi merupakan kejahatan yang bersarang sejak lama. Berdasarkan pada sejarah panjang budaya dan kekuatan feodal Indonesia, para penguasa masyarakat kita tidak mampu mewujudkan perlunya memisahkan antara uang pribadi dan uang rakyat (publik). Itulah kenapa banyak orang dengan mudah mentolerir penyelewengan kekuasaan dan uang publik untuk kepentingan pribadi, korupsi.

Kejahatan korupsi adalah sebuah kejahatan kemanusiaan di lingkungan institusi pemerintah. Kejahatan ini dilakukan oleh pejabat pemerintah yang mendapat amanat sebagai wakil rakyat untuk mengayomi hak-hak rakyat. Pada kenyataannya mereka justru tega menyelewengkan hak-hak tersebut demi kepentingannya sendiri dan kelompoknya.

Fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagai bentuk kejahatan yang kita jumpai saat ini tidak jauh beda dengan budaya feodal kerajaan Hanya saja zaman serta dari tata cara kerja dan motif operandinya yang berbeda, namun tetap pada substansi yang sama yaitu menyelewengkan kekayaan rakyat serta eksploitasi hak-hak rakyat kecil dengan kebijakan yang korup.

Praktek korup seperti ini memang telah berlangsung sejak sejak lama. Sifatnya yang membudaya dari satu generasi ke generasi berikutnya mengharuskan upaya penanganan yang konsisten dan berkelanjutan. Korupsi di Indonesia telah menjadi kejahatan struktural yang dapat menghambat pemenuhan kebutuhan primer seluruh lapisan masyarakat, terutama kalangan rakyat kecil.

Melihat kenyataan seperti ini, kita tidak ragu untuk mengatakan bahwa di negeri ini hukum benar-benar tengah mengalami masalah yang sangat serius. Kepercayaan publik terhadap aparat hukum (polisi, jaksa, hakim dan pasti juga pengacara), nyaris ke tititk yang paling nadir. Bukan tidak ada oknum aparat hukum yang putih. Tapi warna dominan yang tampak dewasa ini memang telah meng-hitam.

Korupsi yang hebat bisa saja terjadi di kalangan wakil rakyat dan para pejabat, mulai dari tingkat ketua RT, lurah, camat, bupati, gubernur sampai yang lebih atas lagi. Atau dilakukan oleh aparat birokrasi dari esselon paling rendah sampai ke yang paling tinggi. Akan tetapi, sehebat apa pun korupsi terjadi, selama aparat penegak hukum masih tegak lurus hatinya, maka tidak ada alasan bagi kita untuk terlalu khawatir.

Tapi apabila yang korup itu penegak hukumnya, apalagi jika telah mewabah ke seluruh jajaran dan lapisannya, maka siapakah yang bisa menyelamatkan negeri? Kasus jual beli keputusan, tawar menawar perihal berat ringanya tuntutan, sogok-menyogok menyangkut penyidikan, sampai dengan ulah mengkaburkan tahanan, begitu merata digunjingkan orang.

Bukan di negeri ini tidak ada hukum (lawless). Sepanjang sejarah belum pernah negeri ini memiliki perangkat hukum/perundang-undangan seperti yang dipunya sekarang ini. Sejak tahun 1950-an tercatat lebih dari 13.00D peraturan perundang-undangan telah dihasilkan oleh Republik ini. Belum terhitung peraturan-peraturan turunan (derivative) di bawahnya.

Oleh karena itu, yang sebenarnya terjadi, ribuan ketentuan hukum yang sudah ada sedikit sekali yang telah benar-benar ditegakkan. Hukum disebut benar-benar ditegakkan adalah ketika ia ditegakkan sesuai dengan prinsip-prinsipnya. Yakni obyektif, konsisten, tidak diskriminatif dan demi keadilan.

Bukan penegakan hukum, melainkan pengkhianatan hukum, jika ia dikenakan sesuka hati, se-kenanya, secara tebang pilih, tidak untuk keadilan, dan apalagi hanya untuk menambah penghasilan.

Membuat hukum tanpa disertai tekad kuat untuk menegakkannya justru akan mencelakakan bangsa ke jurang kebangkrutan, lebih cepat 100 kali dibanding mereka yang berfikir sebaliknya.

Tapi inilah yang kita saksikan pada bangsa kita. Begitu kuatnya anggapan menyesatkan di masyarakat kita, seolah semua masalah bangsa akan segera dituntaskan, hanya apabila aturan atau hukum telah dirumuskan dan jargon telah dipekikkan.

Aparat penegak hukum semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sungguh sangat strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kebaikan aparat hukum akan berdampak luas pada kebaikan negara, dan buruknya aparat hukum akan menyebabkan keburukan luar biasa kepada kehidupan negara dan bangsa. Oleh sebab itu, reward dan punishment untuk mereka layak diberikan secara berlipat-ganda.

Untuk itu, demi menjamin tegaknya hukum di negri ini yang pada gilirannya akan menjamin tegaknya pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government), layak kita ikhlaskan bersama standar reward (tsawab/kesejahteraan dan penghormatan) yang berlipat-ganda bagi segenap aparat penegak hukum kita yang lurus dalam mengemban amanatnya.

Pada saat yang sama, kepada mereka juga kita ancamkan punishment (iqab/hukuman) yang berlipat ganda pula, apabila mereka mempermainkan hukum, mengkhianati amanat suci yang ada di pundaknya. Hukum dan keadilan terhadap aparat penegak hukum & keadilan, musti kita jadikan agenda utama, membenahi bangsa dan negara.

Dalam MUNAS Alim Ulama di Jakarta pada Juli 2002, NU mengatakan, koruptor jangan dishalati sebelum ia mengembalikan uang jarahannya. Fatwa demi memberikan sanksi sosial ini tidak lain sebagai pintu masuk bahwa korupsi adalah faktor utama kebangkrutan negeri. Dari fatwa mati inilah, lahir gerakan-gerakan sistematis tentang pola keterlibatan agamawan untuk memerangi korupsi dalam konteks kesejahteraan sosial.

Pilihan kepada agamawan sebagai corong gerakan antikorupsi menunjukkan bahwa agama sejatinya tidak hanya mengurusi persoalan peribadatan saja, tetapi lebih dari itu, ia berfungsi sebagai kekuatan maha dahsyat untuk memerangi korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan. Melakukan korupsi berarti mengkhianati ajaran agama serta mendekatkan api neraka ke tubuhnya.

Menurut ulama NU, korupsi merupakan pengkhianatan berat terhadap amanat rakyat. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, keharaman korupsi melebihi dari tindakan pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb). Korupsi dalam berbagai bentuknya misalnya suap (risywah), mark up (khiyanat), penggelapan (ghulul) dan pemerasan (muksu) adalah penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang demi menguntungkan diri dan kelompoknya serta merugikan negara dan rakyat banyak.

Hukumannya adalah ta’zir sesuai dengan berat ringannya kerusakan yang ditimbulkan dan bisa diperberat sampai hukuman mati. Bangunan fikih diatas menjadi landasan kuat bagi ulama NU untuk melakukan gerakan antikorupsi.

Fungsi kontrol sosial dari para agamawan untuk mencegah korupsi dilakukan dengan terus menerus mencermati kebijakan publik terutama melewati anggarannya, karena dari situlah sumber utama penyelewengan bermula.

Kontrol kebijakan paling vital ini demi menghindarkan pejabat publik dari penyalahgunaan untuk hal-hal yang merugikan rakyat dan melawan tuntutan keadilan.

Posisi PKS jelas menjadi rawan dan tidak aman, karena LHI adalah Presiden Partai. Suap sebesar Rp 40 miliar yang dibayarkan secara cicil itu akan terjadi di Kementerian Pertanian yang dijabat kader PKS Suswono. Masyarakat mudah menyimpulkan hal yang negatif.

Sebagai partai kader dengan citra “Bersih dan Peduli”, penangkapan Sang Presiden Partai akan meruntuhkan kepercayaan kader dan konstituennya serta masyarakat luas.

Dengan kursi DPR 10 % (57 kursi) dan menempatkan 3 wakilnya sebagai menteri dalam Kabinet Bersatu 2009-2014 (Mentan Suswono, Menkominfo Tifatul Sembiring, dan Mensos Salim Segaf Al-Jufri, serta Ani Matta, Wakil Ketua DPR 2009-2014) PKS akan kesulitan dalam pemilu 2014.

Bukan hanya PKS yang menurut Survei Charta Politika (8-22 Juli 2012) elektabilitas PKS di posisi keenam hanya mendapat pesepsi 3,9% Partai politik Islam lainpun diprediksi akan tergusur dari pusaran politik nasional pada 2014.

Kemungkinan pergeseran peta politik ini hasil jajak pendapat jika pemilu dilakukan awal Oktober 2012. Merujuk survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network, tak satu pun partai berbasis massa Islam masuk zona aman.

Justru ranking lima besar dimonopoli partai yang tidak memiliki konstituen tradisional Islam, yaitu Golkar, PDI Perjuangan, Demokrat, Nasdem, dan Gerindra (Fajar Riza Ul Haq, kompas.com).

Kegelisahan saya terletak pada politisasi agama. Di mana agama hanya dijadikan “komoditas” yang dijual untuk kepentingan syahwat kekuasaan dan kesenangan dunyawiyah.

Seharusnya, Dalam gerak perjuangan kader partai yang berbasis islam, seharusnya menjadikan politik sebagai ikhtiar dalam menyusun strategi kebudayaan yang adiluhung menuju sebuah tatanan masyarakat yang cerdas, berdaya saing, terbuka dan berkeadilan.

Dalam konteks Indonesia para politisi santri ini seharusnya mengusung gagasan strategis yaitu Mempertemukan sejumlah pemikiran kritis yang emasipatoris, eksploratif dan liberatif. Merekonstruksi nilai keberagamaan dan keberimanan dalam konteks yang lebih luas dan majemuk.

Menjalin kerjasama yang sinergis dengan semua lapisan, semua kalangan dengan semangat saling mengenal, menghargai,dan menguntungkan untuk kemanusiaan.

Politisi Partai berbasis Islam seharusnya punya misi dakwah yang jelas yaitu mampu merefleksikan semangat keagamaan yang ia miliki terhadap realitas kehidupan: peradaban, keadilan, nilai keagaaman, dan persatuan yang terpuruk yang akhirnya melahirkan masyarakat yang mengalami kekerasan, ketidakadilan, pembedaan (diskriminasi), dan peminggiran (marjinalisasi) baik secara struktural maupun kultural. Itulah aqidah yang harus dimiliki para politisi partai Islam ini.

Bukan justru terjebak pada Ideologi transnasional dan transaksional. Kaifa hal, ya Ustadz?.

Penulis adalah Majelis Nasional ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika) dan Penggagas Gerakan EKAYASTRA UMADA (Semangat Satu Bangsa) bersama Putut Prabantoro. Email: Kang_maman32@yahoo.Com. 08156404387. @kang_maman72

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini