Oleh: Muhammad Huda Mustawa*
TRIBUNNEWS.COM - Kabar baru kembali muncul dari seorang SBY. Beberapa headline pemberitaan dari berbagai media mengabarkan bahwa ‘beliau’ akan membuat sebuah akun Twitter. Kabarnya langkah ini dilakukan SBY sebagai salah satu upaya dalam usaha pendekatan yang lebih hangat kepada rakyatnya.
Ya, yang menjadi hal menarik adalah ketika SBY membuat akun ini dengan statusnya sebagai kepala negara. Mungkin akan menjadi hal yang biasa saja saat ia membuat akun sebagai seorang pribadi Yudhyono. Sebagai masyarakat yang memiliki daya nalar, tanpa harus menjadi seorang Einstein sekalipun tentu kita akan mampu sadar bahwa langkah seperti ini akan memancing berbagai tanggapan dari berbagai kalangan. Begitu pula dengan SBY sendiri, beliau tentu sadar betul dengan apa yang ia lakukan dan akan seperti apa feed back yang mungkin saja dapat timbul dari langkah ini.
Tak butuh waktu lama, jika dalam beberapa waktu terakhir kita cermati kembali beberapa media elektronik maka dapat dilihat berbagai tanggapan dari berbagai kalangan tentang upaya ini. Sebagian orang yang memiliki pandangan politik, menilai hal ini sebagai suatu upaya pencitraan di hadapan rakyat. Terlebih hal ini dianggap pula sebagai upaya basi dalam pendekatan kepada rakyat karena dilakukan saat detik – detik menjelang pemilihan umum. Tak ayal banyak pula tanggapan yang menggiring kepada penilaian sosok SBY sebagai seorang pribadi yang munafik dan penuh dengan kepalsuan serta kebohongan. Selaian itu SBY juga dinilai mengambil langkah yang tidak terlalu esensial dalam mengurusi masalah negeri. Bagi sebagian kalangan, masih banyak hal besar yang dapat dilakukan ketimbang mengurusi sebuah akun jejaring sosial.
Ibarat kedua sisi mata uang, penilaian terhadap upaya ini tak melulu menjadi pandangan negatif. Nyatanya tak sedikit pula yang memandang hal ini sebagai upaya positif dengan langkah strategis melalui pemanfaatan kemajuan teknologi komunikasi sebagai media. Hal ini juga dinilai sebagai opsi yang variatif bagi jembatan komunikasi antara rakyat dan penguasanya.
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin dalam upaya pendekatan emosional terhadap rakyatnya. Termasuk yang dilakukan oleh seorang SBY dengan membuat akun Twitter. Tak ada yang salah ketika hal ini dilakukan dengan dasar demi kesejahteraan rakyat. Segala kebijakan sah – sah saja dilakukan oleh seorang presiden demi kewajibannya melayani rakyat. Tak ada yang dirugikan dalam hal ini, nothing to lose bagi rakyat. Hanya karena sebagai sesuatu yang dianggap sepele, tak berarti membuat langkah ini menjadi sesuatu yang bernilai negatif.
Banyak yang memandang suram apa yang dilakukan oleh SBY. Tapi hal yang sama tetap akan terjadi meski bukan SBY yang berperan sebagai presiden. Pada dasarnya, siapapun yang menjadi penguasa maka akan tetap ada yang berperan sebagai penentang - hal ini kodrati -.
Munculnya penilaian yang menganggap hal ini sebagai upaya pencitraan hanya muncul dari mulut seorang yang khawatir akan keberhasilan langkah ini. Rakyat tak dirugikan, meski pula tak dijamin diperoleh keuntungan. Jadi, meski ini sebagai upaya pencitraan oleh seorang SBY, apa yang harus dipermasalahkan? terkecuali jika SBY berbalik mencekik rakyatnya dengan langkah ini. Tak perlu pusing dengan pencitraan, toh penilaian kembali ditentukan oleh masing – masing pribadi yang memamandang.
Penilaian buruk dengan beranggapan bahwa ini menunjukkan pribadi SBY sebagai seorang munafik tentu juga bukan hal yang relevan. Biarlah penilaian tentang kemunafikan maupun tentang ketulusan seseorang dikembalikan kepada tuhan. Rakyat tinggal menunggu dampak positif yang mungkin muncul sebagai produk dari upaya ini.
Hanya saja, jika didasari dengan upaya untuk mendekatkan diri kepada rakyat, langkah ini menjadi suatu terobosan yang kurang universal. Tak ada yang salah memang, tapi ini tentu akan menggiring pada pertanyaan tentang seberapa banyak dari rakyat indonesia yang aktif menggunakan akun jejaring sosial ini? Serta sasaran rakyat seperti apa yang menjadi terget pendekatan ini?
Perlu dicatat bahwa sebagian besar rakyat indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka hidup tanpa sempat memikiran hiruk pikuk dunia jejaring sosial. Sedangkan, suara dari rakyat yang berada dalam ‘sebagian besar’ inilah yang seharusnya menjadi sebuah prioritas yang paling utama untuk didengar langsung oleh telinga seorang presiden.
*Penulis adalah Mahasiswa (Agroteknologi Faperta Untan), Pontianak, Kalimantan Barat