TRIBUNNEWS.COM - Jokowi dan Ahok adalah pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang dipilih oleh mayoritas pemilih DKI Jakarta untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI periode 2012-2017.
Secara hukum pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah kontrak politik, kontrak sosial yang bersumber dari dan menjadi konsensus bersama antara pemilih dengan pasangan calon yang prosesnya sangat matang dan berjenjang dan berujung lewat pilkada secara langsung, bebas, pribadi dan rahasia adalah untuk waktu lima tahun lamanya dan terjadi antara Jokowi Ahok dengan Pemilih.
Dengan demikian maka terpilihnya Jokowi dan Ahok sebagi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI adalah bersumber dari adanya kontrak politik, kontrak sosial dan konsensus dasar yang terjadi antara pemilih dengan yang dipilih,
Sementara Partai Politik yang mengusung adalah hanya sebagai media, jembatan atau kendaraan yang mengantarkan pasangan calon mencapai tujuan Partai yang mengusung. Hasil pemilihan Kepala Daerah/Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang telah menempatkan Jokowi dan Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk waktu 5 tahun bukan saja hanya mengikat secara hukum antara Jokowi-Ahok dengan mayoritas pemilih dengan Jokowi-Ahok sendiri, akan tetapi juga telah mengikat secara hukum dengan Partai Politik yang mengusung Jokowi-Ahok yaitu PDIP dan Gerindra untuk jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur lima tahun lamanya.
Dengan demikian selama lima tahun ke depan (2012-2017) baik Jokowi-Ahok maupun PDIP-Gerindra tidak boleh secara sepihak/seenaknya mencalonkan diri atau dicalonkan kembali Jokowi-Ahok untuk Capres/Cawapres 2014-2019 atau jabatan lain oleh PDIP atau Gerindra.
Karena bagaimanapun kontrak politik, kontrak sosial dan konsensus dasar antara pemilih dengan Jokowi-Ahok dan PDIP-GERINDRA untuk jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta adalah 5 tahun lamnya tanpa syarat, kecuali syarat Undang-Undang yang telah diatur secara limitatif yaitu, meninggal dunia atau diberhentikan atau karena halangan tetap lainnya.
Karena itu TPDI mengingatkan Jokowi, Ahok, PDIP, Gerindra dan KPU serta pemilih yang telah memilih Jokowi-Ahok untuk Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta selama 5 tahun agar bersikap hati-hati dan menghormati kontrak politik, kontrak sosial dan konsesnsus bersama yaitu memberi beban tanggung jawab, kekuasaan, kewenangan, hak dan Kewajiban dengan segala konsekuensi kepada Jokowi-Ahok dan PDIP-Gerindra untuk 5 tahun penuh, tidak setengah-setengah atau seperempat masa tugas atau boleh lompat-lompat dari jabatan yang satu kepada jabatan yang lainnya.
Karena jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur itu bukan diperoleh karena hadiah atau imbalan karena memanjat pohon pinang, akan tetapi jabatan Gubernur-Wakil Gubernur DKI itu buah dari sebuah proses panjang secar berjenjang yang berujung dengan konsensus besar yang mengikat secara hukum semua pihak.
Jokowi-Ahok, PDIP-Gerindra tidak boleh secara sepihak mencoba-coba mencalonkan Jokowi/Ahok untuk menjadi Calon Presiden/Wakil Presiden pada periode 2014-2019 selama Jokowi-Ahok, PDIP-GERINDRA masih terikat dengan hasil pilkada yang menempatkan Jokowi-Ahok untuk jabatan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta selama 5 tahun.
Memotong jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Jokowi-Ahok di tengah jalan atu selama masih menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI ke jabatan lain terlebih-lebih untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden, bukan saja sekedar sebuah sikap tidak bertanggung jawab terhadap pemilih atu warga Jakarta yang telah memilih akan tetapi lebih daripada itu adalah sebuah pengkianatan terhadap tanggung jawab yang dibebankan / yang dipercayakan dan diamanatkan yang telah diperkuat melalui sumpah jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di hadapan publik dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk itu PDIP dan Partai Gerindra harus secara tegas dan terbuka memngambil sikap tegas bahwa Jokowi-Ahok tidak akan dicalonkan untuk jabatan apapaun lainnya selama 5 tahun kedepan ini agar publik tidak terkecoh dan tidak menggnggu Jokowi-Ahok mengkonsentrasikan diri melakasanakan tugas dan kewajiban konstitusional sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta selama 5 tahun.
Memotong Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Jokowi-Ahok di tengah jalan atas alasan di luar alasan Undang-Undang seperti halangan tetap atau menjadi terhukum, jelas merupakan perbuatan melawan hukum, melawan konstitusi karenanya dapat digugat ke MK.
Sekali lagi jika PDIP, Gerindra atau Partai Politik mana pun yang mencoba mencalonkan Jokowi-Ahok untuk jabatan Presiden dan atau Wakil Presiden selama masih menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur, jelas telah melanggar konnstitusi, melanggar sumpah jabatan, melanggar Kontrak Politik, Kontrak Sosial dan Konsensus Dasar antara Pemilih, Jokowi-Ahok, PDIP dan Gerindra yang konsekuensinya akan merusak demokrasi, kedaulatan rakyat menuju meja Mahkamah Konstitusi (MK).
Partai Politik terutama PDIP yang mengusung ideologi Demokrasi Pancasila harus menjadi lokomotif dalam memberikan pendidikan politik yang baik dan sehat sesuai dengan amanat Undang-Undang Partai Politik. Jangan justru menjadi Partai yang latah, transaksional dan mencederai demokrasi melalui sikap-sikap pragmatis yang mulai muncul dalam perdebatan Jokowi Capres PDIP. Katakan secara jujur dan terbuka agar tidak terjadi dusta antara kita.
Ditulis oleh Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus