Oleh: Presidium IPW, Neta S Pane
Bentrokan personel TNI-Polri sepertinya sulit dihindari dan akan selalu terjadi, terutama di jajaran bawah. Tahun 2015 sudah dua kali
terjadi bentrokan TNI-Polri di Semarang dan di Polewali Sulawesi Barat.
Indonesia Police Watch (IPW) melihat, sulitnya mengatasi bentrokan ini disebabkan tiga hal. Pertama, oknum-oknum di TNI maupun di Polri belum menyadari bahwa mereka adalah aparatur yang digaji rakyat untuk menjaga ketertiban di masyarakat.
Kedua, oknum-oknum berseragam itu lebih mengedepankan sikap arogan dan semangat korsa yang tidak pada tempatnya, sehingga tidak bisa menahan diri dan sering lepas kendali.
Sikap arogansi sebagai aparatur berseragam masih sangat menonjol dalam dinamika TNI-Polri, terutama di jajaran bawah. Hal ini pula yang terlihat dalam kasus bentrokan TNI-Polri di Polewali, Sulawesi Barat yang menewaskan satu anggota TNI.
Ketiga, terjadinya kesalahan strategi dalam menyikap bentrokan. Saat jajaran di bawah bentrok, yang berdamai justru kalangan menengah atas. Seolah perdamaian tidak menyentuh jajaran bawah. Akibatnya bentrokan antarjajaran bawah TNI-Polri tetap terjadi.
Anehnya lagi, akibat banyaknya bentrokan TNI-Polri, sistem pendidikan TNI-Polri di tingkat akademi disatukan. Padahal yang bentrok selama ini tidak pernah menyangkut kalangan atas atau alumni akademi, karena yang bentrok hanyalah jajaran bawah. Artinya, penyatuan sistem pendidikan TNI-Polri di tingkat akademi tidak akan menjamin tidak adanya lagi bentrokan.
Buktinya tahun 2015 ini sudah dua kali terjadi bentrokan TNI-Polri. Yang ada, dengan penyatuan pendidikan ini justru Polri makin represif. Sebab di enam bulan pertama, anggota Polri mendapat pendidikan ala militer yang selalu mengedepankan sikap-sikap represif.
Tentu nilai-nilai awal yang ditanamkan itu akan menjadi dasar bagi kehidupan dan dinamika kepolisian ke depan. Situasi ini akan sangat berbahaya. Sebab dalam menghadapi masyarakat dan menjalankan tugasnya sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, orientasi anggota Polri akan bergaya militer.
Kondisi ini akan bertolak belakang dengan semangat reformasi yang menghendaki lahirnya Polri sebagai polisi sipil yang profesional. Dengan penyatuan sistem pendidikan ini, ke depan publik akan melihat bahwa konflik TNI-Polri di tingkat bawah tidak terselesaikan, justru di tingkat menengah atas akan muncul sikap militeristik yang juga berpotensi memunculkan konflik baru. Artinya, dalam mengatasi masalah konflik TNI-Polri, elit-elit negeri ini memunculkan masalah baru yang tak kalah pelik.
Bentrokan TNI-Polri 2015
30 Agustus 2015
Anggota Kompi Senapan B Yonif 721/ Makassar, Prada Yuliadi, tewas terkena tembakan di perut. Penembakan terjadi menyusul keributan antara salah seorang anggota Kodim 1401/Majene dengan sekelompok anggota Patmor Polres Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
12 Juli 2015
Brimob Polda Jateng di Semarang bentrok dengan anggota Penerbang TNI AD (Penerbad). Bentrokan berawal dari kesalahpahaman dua anggota Penerbad dengan lima anggota Mako Brimob Polda Jateng Detasemen A Pelopor Subden 1, Semarang di sebuah ATM.
Akibatnya, warga Condro Kusumo RT 08/05, Gisikdrono ketakutan, apalagi saat melihat ratusan orang yang mendatangi Mako Brimob hingga terdengar empat kali letusan senjata pada pukul 02.00 WIB itu.