Ditulis oleh : Wakil Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris
TRIBUNNERS - Banyak harapan digantungkan kepada lima orang Pimpinan KPK yang baru saja dipilih oleh Komisi III DPR.
Selain tantangan korupsi ke depan yang dipastikan semakin berat, modus dan motif korupsi yang semakin canggih, dan berbagai tantangan internal dan eksternal serta kelembagaan, KPK juga menghadapi pekerjaan besar, yaitu pencegahan korupsi di daerah yang semakin marak.
“Mayoritas kasus korupsi yang ditangani KPK itu melibatkan pejabat daerah mulai dari kepala daerah, DPRD, hingga PNS-nya yang terjerat korupsi dana proyek yang berasal dari APBD. Kita sangat berharap, KPK punya fokus dan terobosan pencegahan korupsi di daerah. Kalau ini terjadi, pemberantasan korupsi bisa signifikan,” ujar Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris, di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (21/12/2015).
Namun, walau fokus kepada pencegahan korupsi khususnya di daerah, bukan berarti mengendurkan penindakan atau pembongkaran kasus-kasus korupsi yang memang harus diakui masih marak terjadi di daerah.
Pascapilkada serentak, lanjut Fahira, adalah momentum yang sangat tepat bagi Pimpinan KPK yang baru untuk segera merumuskan dan memformulasikan program pencegahan korupsi di daerah dan mulai memetakan daerah-daerah mana saja yang berpotensi terjadi praktik korupsi.
“Sekarang moment-nya sangat tepat, karena pilkada serentak baru saja usai dan sebagian besar kepala daerah yang terpilih adalah wajah-wajah baru. Permulaan yang bagus untuk menggulirkan program-program pencegahan korupsi di daerah. Para kepala daerah terpilih ini harus ‘dicuci pikirannya’ bahwa good governance itu harga mati,” ungkap Senator Jakarta ini.
Menurut Fahira, selama lebih dari satu dekade ini, ada beberapa sumber korupsi pengelolaan keuangan daerah yaitu korupsi pada penyusunan anggaran, pajak dan retribusi daerah, pengadaan barang dan jasa, belanja hibah dan bansos, dan belanja perjalanan dinas.
Selain itu, kasus korupsi yang membelit kepala daerah juga akibat memanipulasi jabatannya untuk ‘mengobral’ berbagai perizinan terutama yang terkait dengan pertambangan dan kehutanan.
Pembahasan dan pengesahan APBD, tambah Fahira, menjadi proses yang sangat sering menjadi ‘agenda korupsi’ di daerah secara berjamaah.
Semua tahapan mulai dari pengadaan, pengumuman lelang, penyusunan harga perkiraan sendiri, hingga penyerahan barang atau jasa diskenariokan.
Saat perencanaan pengadaan, biasanya modusnya penggelembungan anggaran dan rencana pengadaan yang diarahkan untuk memenangkan salah satu peserta lelang.
Pada tahap pengumuman lelang, modusnya adalah, lelang yang diumumkan fiktif.
Sementara, pada penyusunan harga perkiraan, biasanya ditutup-tutupi dan digelembungkan.
Muara korupsinya dapat dilihat pada saat penyerahan barang/jasa yang pastinya volumenya tidak sama dan kualitas pekerjaan pasti lebih rendah dari ketentuan dalam spesifikasi teknik.
“Ranjau korupsi ini sangat banyak saat pembahasan dan pengesahan APBD. Tindakan korupsinya juga sangat beragam mulai dari suap, sogok, menerima komisi, nepotisme, hingga sumbangan ilegal dan pemerasan. Makanya, pencegahan korupsi di daerah bisa di mulai dari sini (pembahasan APBD),” tegas Fahira.