Ditulis oleh: Ary senpai, Creativepreneur, Aktivis Desain & Animasi, Penulis Lepas
TRIBUNNERS - Akhir-akhir ini semakin akrab dengan istilah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), dan ekonomi kreatif.
Sebuah trend tersendiri yang menjadikan masyarakat semakin tidak jelas dengan apa yang sedang diinginkan oleh negeri ini.
Berdasarkan Instruksi Presdien Republik Indonesia No.6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif, sasaran Pengembangan ekonomi kreatif sebagai berikut, periklanan, arsitektur, pasar seni, dan barang antik, kerajinan, desain, fashion (mode).
Film, video, dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan, dan percetakan, layanan komputer, dan piranti lunak. Radio, dan televisi, dan riset dan pengembangan.
Akan tetapi pada pengembangannya sasaran ekonomi kreatif mengalami pengembangan yaitu, periklanan, arsitektur, pasar seni, dan barang antik, kerajinan, desain, fashion(mode), film, video, dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak.
Radio, dan televisi, kuliner, dan riset dan pengembangan.
Sebenarnya ekonomi kreatif bisa digunakan untuk membekali Indonesia ini dalam MEA, tapi kurangnya kerja sama masyarakat dengan pemerintah masih belum begitu terlihat, dan yang terjadi pemerintah terlalu awam untuk hal ekonomi kreatif dan MEA ini.
Hal ini bisa dilihat betapa culunnya pemerintah yang masih menganggap ekonomi kreatif tidak begitu penting dalam mengatasi sumber daya manusia yang semakin banyak tantangan didalamnya.
Baru saja kita mendengar berita bahwa lulusan SD yang mampu merakit televisi rumahan ditangkap aparat karena tidak punya ijin SNI.
Ini adalah bagian dari kebodohan yang nyata dalam peningkatan sumber daya manusia ini.
Jelas-jelas hanya dengan lulusan SD saja bisa membuat industri televisi bahkan yang lulusan S3 bidang elektronika pun masih bingung mau kerja apa?
Alangkah lebih baik jika dibina terlebih dahulu untuk mengembangkan industrinya itu bukan dipenjara atau disalah-salahkan.
Itulah mengapa negeri kita tidak bisa maju, yang dilihat hanya ijasah saja.
Setelah Habibie (mantan Presiden, dan Wakil Presiden RI), yang pergi ke Jerman untuk mengembangkan pesawat, kemudian mobil Selo yang tidak bisa dimiliki oleh negeri ini dan akhirnya disusul oleh pakar televisi lulusan SD yang harus menjadi sarana pendangkalan sumberdaya manusia.
Kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan pelatihan yang katanya diselenggarakan untuk masyarakatpun kenyataannya hanya digunakan untuk menghabiskan dana.
Kita bisa melihat pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah tidak ada follow up lanjutan dan hanya berkesan musiman, hingga tidak adanya binaan yang lebih lanjut.
Jika hal ini diterus-teruskan potensi-potensi masyarakat yang harusnya dikembangkan hanya terdengar menjadi sebuah sampah masyarakat karena kreativitas yang tidak diakui oleh negerinya sendiri.
Gembar-gembor MEA akan tetapi potensi rakyatnya sendiri diragukan dan dimatikan, ini apa? Apakah MEA dan trend ekonomi kreatif hanya sebuah pengalihan isu? Siapapun tak ada yang tahu.
Pengangguran akan semakin bertambah jika begini caranya, ingin membuat usaha ijinnya repot tapi pengusaha asing dengan bebas berkeliaran di negeri yang katanya gemah ripah lohjinawe ini.
Hal yang harusnya tidak usah dibesar-besarkan kalau memang pemerintah belum bisa merangkul masyarakat yang penuh dengan kreativitas.
Terus bekerja, jangan berharap pada negara, itulah semboyan bagi para pejuang star up yang tidak pernah diakui bahwa mereka juga bekerja dan memang semboyan itu harus ada disetiap rakyat karena mungkin pemerintah sudah lelah dengan banyaknya harapan yang diberikan kepada rakyat sendiri.