Sabbah kemudian membentuk sebuah sekte rahasia yang disebut dengan nama Hashashin. Calon anggotanya menjalani indoktrinasi dan menjalani latihan intensif.
Gerakan ini kemudian bergerak melakukan serangkaian aksi teror dengan melakukan pembunuhan secara terbuka. Tujuannya tentu bukan melenyapkan akan tetapi membangun sebuah citra bahwa kelompok rahasia ini bisa melakukan tindakan pembunuhan kepada siapa saja dan di mana saja.
Pada masanya, kelompok ini benar-benar mampu menciptakan sebuah kecemasan yang luar biasa bagi masyarakat, terutama bagi kalangan penguasa. (Tamim Anshary (2012:222).
Dan hari ini, apa yang dilakukan para pelaku teror di Jakarta tidak beda jauh dengan yang diperbuat oleh kelompok Sabbah pada akhir abad ke-11.
Melakuan teror terbuka di kerumunan sehingga menimbulkan kecemasan bagi banyak orang. Menimbulkan anggapan bahwa mereka bisa melakukan teror di mana saja dan kapan saja mereka mau.
Perjuangan Apokaliptik yang salah Kaprah
Berangkat dari akar sejarah terorisme, lantas apa yang kemudian menjadi dasar para pelaku teror ini dengan senang hati melakukan tindakan terorisme. Sehingga mereka rela mengorbankan nyawa mereka dan tak peduli dengan nyawa orang lain.
Kemungkinan besar para pelaku teror ini merasa bahwa mereka sedang berjuang untuk sesuatu yang hebat secara apokaliptik. Sesuatu yang pernah dialami oleh kaum muslim di era perdana.
Mereka merasa berjuang demi tujuan mereka membuat hidup mereka bermakna dan memberi arti bagi kematian mereka.
Dan kita tahu bahwa kerinduan manusia akan makna adalah kebutuhan mendasar layaknya makan dan minum. Ini yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa para pelaku terhanyut oleh narasi yang menjadikan mereka pemain kunci dalam drama apokaliptik. (Tamim Anshary (2012:97).
Namun sayang, pendakatan yang semacam ini jelas sesuatu yang salah kaprah. Karena kondisi saat ini tentu tidaklah sama dengan di masa lalu.
Posisi Islam di masa kini jauh berbeda sekali. Islam di era hari ini, sama posisinya dengan agama lain, yakni dalam keadaan yang merdeka. Maka berjuang dengan cara-cara kekerasan dan memaksakan Islam sebagai sebuah entitas tugal tentu menjadi hal yang salah kaprah.
Bahwa kemudian ada pergeseran nilai-nilai dalam Islam sendiri, itu benar adanya. Namun disitulah tantangan yang mesti dijawab bersama. Ini yang kemudian harus dipikirkan.
Bukan justru mengambil langkah-langkah keliru. Dan tentu bukan hanya Islam yang menghadapi tantangan soal pergeseran tentang nilai-nilai transenden, agama Samawi lainnya juga dihadapkan pada persoalan yang sama.