Ditulis oleh : LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA
TRIBUNNERS - Lima tahun sudah peristiwa Cikeusik,6 Februari 2011 berlalu, namun masih lekat diingatan mengenai luka serta dampak yang disisakan.
Hari ini intoleransi, kekerasan dan ujaran kebencian itu kembali mengancam kebhinekaan Indonesia (Nawacita butir ke-9).
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (selanjutnya disebut JAI) di Kabupaten Bangka kembali menerima ancaman pengusiran dan ancaman tindakan atau ujaran kekerasan serta kebencian dari sekelompok warga intoleran.
LBH Jakarta mengecam tindakan tersebut dan menuntut kehadiran negara melindungi para korban dan menindak dengan tegas para pelaku.
JAI cabang Bangka, resmi menjadi cabang organisasi JAI di Bangka pada tahun 1989 di Tanjung Ratu dan pindah ke Srimenanti sejak tahun 2006.
Sejak awal berdirinya sampai hari ini belum pernah keberadaan anggota JAI cabang Bangka menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
"Bahkan pascatahun 2004 saat terjadi pembakaran masjid JAI di Bangka, anggota JAI Bangka tidak pernah melakukan tindakan balasan apapun. Mereka tetap hidup berdampingan dengan masyarakat setempat
lainnya,” ujar Pratiwi Febry, Kepala Bidang isu Kelompok Minoritas dan Rentan LBH Jakarta, Jumat (5/2/16).
“Bapak Asro Matnur sendiri, Ketua JAI Bangka merupakan penduduk asli daerah kota Bangka dan mayoritas
anggota JAI Bangka telah tinggal bertahun-tahun lamanya di Kabupaten Bangka," lanjutnya.
Kali ini kelompok intoleran berhasil menggunakan tangan negara untuk melegitimasi tindakan mereka.
Surat Keputusan Bupati Bangka dan Peraturan Bupati Bangka tentang JAI digunakan untuk melegitimasi pengusiran tersebut.
Bupati justru menjadi pelaku pengusiran, dan sampai saat ini aparat Kepolisian belum menindak secara tegas masa intoleran.
Mereka tetap berencana melakukan aksi protes dan pengusiran terhadap keberadaan JAI hari ini, Jumat dengan massa berjumlah kurang lebih 1000 orang.
“62 (enam puluh dua) jiwa saat ini sedang terancam dan mereka menantikan kehadiran negara untuk menjamin keselamatan serta hak asasi mereka sebagai warga negara yang berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia," kata Pratiwi.
LBH Jakarta mendesak kepolisian setempat baik tingkat provinsi maupun Kabupaten Bangka untuk mengambil tindakan pencegahan, serta melakukan penindakan hukum tegas kepada para pelaku intoleransi,
kekerasan dan penyebaran kebencian.
Bupati Bangka harus segera mencabut kebijakan diskriminatif yang ditujukan terhadap JAI.
Bupati sebagai kepala daerah juga dalam hal ini harus bertanggung jawab bilamana terjadi pengusiran maupun tindak kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban maupun perusakan atau kehilangan harta benda yang dialami oleh kelompok JAI.
Dalam kesempatan lain, Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta menyatakan bahwa 4 (empat) pilihan penanganan yang dikemukakan oleh pemerintah Kabupaten Bangka yang berupa meninggalkan Bangka atau pemulangan, evakuasi sementara waktu, lokalisir dengan melakukan pembinaan, serta ditempatkan di suatu tempat seperti lahan pertanian, jelas bertentangan dengan Konstitusi dan bukanlah solusi atas akar permasalahan yang dihadapi.
"Tindakan serta kebijakan Pemerintah Daerah setempat yang menyeleweng dari semangat Konstitusi dan janji Presiden dalam Nawacitanya (terutama butir ke-9), menurut kami merupakan tindakan insubordinasi dan
berbahaya bagi kesatuan serta kebhinekaan Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa justru dipicu oleh sikap para pihak baik pejabat maupun aparat pemerintah, atau kelompok masyarakat yang intoleran serta vandal seperti ini,” terang Alghif.
”Oleh karenanya Presiden R.I. harus menindak tegas pihak-pihak tersebut. Jangan sampai bangsa kita mengulang kembali sejarah kelamnya 5 (lima) tahun lalu dalam menyikapi kebhinekaan,” tutur Alghif
mengakhiri pernyataannya.