Dalam analisanya, Indonesia sedang mencoba meramu kedua sistem pemerintahan itu dengan cita rasa domestik.
Pasalnya, menurut Luthfi hanya Indonesialah yang menerapkan sistem presidensial, tapi juga mempertahankan kekuatan koalisi dan oposisi. Dia mengajak publik menengok praktik di negeri kelahiran presidensialisme, Amerika Serikat.
Praktik politik di sana tak kenal model oposisi dan sistem multi partai, karena dua istilah itu hanya diterapkan oleh sistem parlementarian.
Tak hanya itu, menurut Luthfi Indonesia juga satu-satunya negara di mana DPR bisa sewaktu-waktu memanggil para menteri.
“Jadi kalau saya bilang ini Indonesia sedang menerapkan sistem pemerintahan sambalado, campur-campur,” kelakarnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, GBHN yang merepresentasikan mimpi negara dalam perencanaan jangka pendek hingga jangka panjang, hanya kompatibel dengan model parlementarian.
Dalam konteks itu presiden tak dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu, tapi diangkat oleh MPR selaku lembaga tertinggi negara.
Karena itulah, MPR menitahkan GBHN agar diemban oleh presiden.
Sebaliknya, dalam sistem pemerintahan presidensialisme, seorang presiden tak butuh GBHN karena eksekutif memiliki hak prerogatif dengan otoritas kebijakan yang luas.
Dengan berbagai pertimbangan itu, Luthfi A Mutty mengingatkan seluruh elemen masyarakat untuk konsisten menyusun sistem ketatanegaraan kita.
“Pilih salah satu, atur semua aspek yuridisnya untuk membentuk negara yang sesuai dengan sistem yang sudah kita pilih,” tutupnya.