Paling tidak, hal ini terlihat dari usaha MADN memperkuat nilai-nilai budaya Dayak sebagai bingkai yang khas untuk menunjukkan identitas lembaga, cukup untuk mengindikasi bahwa MADN seolah konsen terhadap persoalan kaum (Dayak) pada tataran ide.
Selain itu, dalam kesimpulan Rakernas MADN yang lalu, kita mendengar gaung tuntutan terhadap pemerintah pusat untuk memberlakukan Otonomi Khusus pada lima provinsi di Kalimantan untuk memacu pembangunan.
Pembangunan yang seperti apa? Bila disimak, salah satunya adalah untuk mengutamakan putra-putri Dayak dalam rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS), Polri, dan TNI.
Namun di sisi lain, masih marak kita melihat bahkan dipertontonkan secara fulgar praktek nepotisme yang lebih mengutamakan keluarga para pejabat untuk menduduki posisi-posis penting di pos-pos yang strategis.
Lalu, bagaimana dengan kerja-kerja nyatanya ketika dihadapkan dengan realita dan persoalan-persoalan seperti ini?
Sampai saat ini, ketika sudah cukup banyak tokoh-tokoh Dayak yang tampil dalam kamar-kamar administratif kekuasaan lokal, masih saja sering terdengar terjadi perampasan tanah-tanah adat berkodeok investasi dan pembangunan.
Atau semakin runyamnya akselerasi generasi Dayak terhadap peninggalan leluhur, seperti hilangnya akses generasi-generasi muda adat terhadap tanah maupun akar tradisi leluhurnya.
Sementara sebagai lembaga adat, MADN semakin terlihat mapan dengan struktur organisasinya dan memiliki akses langsung terhadap pemegang kekuasaan di daerah dan pusat.
Tentu ada harapan bahwa MADN yang dianggap sebagai representasi masyarakat Dayak di tataran elit seperti sekarang ini akan mampu membantu menyelesaikan persoalan kaum yang sangat kompleks.
Setidaknya MADN diharapkan benar-benar berpihak pada masyarakat Dayak yang berada dalam pusaran yang dilematis antara mempertahankan nilai-nilai adat dan investasi besar-besaran yang juga bisa mengancam nilai-nilai tersebut secara langsung, apabila tanpa proteksi yang kuat.
Proteksi ini dapat berupa pemberdayaan di bidang pendidikan, kesehatan, serta hak-hak adat.
Apabila benar adanya bahwa lembaga ini semakin “bertaring” serta memiliki tekad untuk mengangkat harkat dan martabat kaum yang diwakili dan diperjuangkannya, kita semua boleh berasumsi bahwa persoalan yang sangat kompleks tersebut mampu menemui jalan keluarnya.
Paling tidak, kecarut-marutan persoalan, mulai dari konflik tanah, lunturnya identitas budaya dan hukum adat, sampai pada tercerabutnya generasi muda Dayak dari akar-akar tradisinya, akan mampu menemukan pintu keluar yang menjanjikan penyelesaian.
Tak heran, masyarakat Dayak tertuju matanya pada pelantikan pengurus sekaligus Rakernas I MADN yang mengukuhkan Cornelis, yang juga Gubernur Kalimantan Barat ini sebagai presidennya, serta banyak lagi tokoh-tokoh penting yang masuk dalam jajaran tersebut.