Ditulis oleh : Fraksi Nasdem
TRIBUNNERS - Anggota Komisi III DPR RI Akbar Faizal menyatakan keberatannya terhadap Komnas HAM yang mengadakan pertemuan dengan pejabat Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS) beberapa waktu silam.
Pertemuan itu dilakukan dalam rangka mengusut pelanggaran HAM dalam peristiwa 1965.
Akbar menilai langkah Komnas HAM telah keluar dari batas yurisdiksi, mengingat perjalanannya ke AS dilakukan tanpa koordinasi dan komunikasi dengan Kementerian Luar Negeri dan kedutaan setempat.
"Mereka menemui pejabat Kementerian Pertahanan Amerika dan kemudian meminta bantuan kepada pemerintah Amerika untuk membuka file-file kasus kejahatan HAM 1965. Saya tekankan pada mereka, bahwa semangat menegakan HAM-nya kita dukung, tapi mereka tidak boleh bekerja serampangan," ujar Akbar dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan Komnas HAM, Senin (18/4/2016).
Akbar Faizal menilai langkah Komnas HAM itu adalah bentuk tindakan reaktif. Mereka bermaksud membuka tabir misteri pelanggaran HAM 1965 dengan mengambil tindakan ekstrim, yakni bekerja sama dengan Amerika. Tujuannya tidak lain adalah untuk melengkapi bukti-bukti guna diajukan kembali ke kejaksaan.
"Mereka menjawab, sebenarnya yang dimintakan kepada pemerintah Amerika itu hanya ingin tahu apa yang membuat peristiwa itu terjadi. Sementara informasi yang saya dapatkan berbeda. Kita harus curiga,” kata legislator dari Dapil Sulawesi Selatan II ini.
Kecurigaan politisi Fraksi Partai NasDem ini semakin memuncak ketika mengetahui pihak yang menjadi sponsor perjalanan Komnas HAM ke Amerika Serikat.
Tanpa menyebut pihak sponsor tersebut, Akbar menegaskan bahwa kita harus sangat berhati-hati dalam merajut hubungan dengan negara lain, apa lagi jika terkait persoalan domestik.
Dalam kerangka ini, tindakan Komnas HAM bisa diartikan bertendensi pada kepentingan asing.
Di rapat-rapat yang lalu misalnya, Komisi III DPR juga pernah menyoroti bantuan-bantuan asing lainnya, terutama dari Amerika Serikat untuk berbagai kasus tanah adat di Indonesia.
“Kalau menggunakan bahasa yang ekstrim kan bisa repot. Misalnya, mereka bisa saja memainkan agenda asing atau tidak? Pembiayaan-pembiayaan dari asing itu teridentifikasi dengan jelas tidak? Ini tidak bisa dibiarkan,” pungkas Akbar.