News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Ciptakanlah Budaya Parenting Anda Sendiri

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hindari perkataan jangan pada anak karena gampang membuatnya ciut nyali.

Ditulis oleh : Ananta Damarjati, Mahasiswa Akubank Widya Buana Semarang.

TRIBUNNERS - Secara ilmiah, telah banyak kita baca paparan dari para ahli terkait pola asuh orangtua dan anak-anaknya.

Pasti disertakan pula hasil-hasil riset berupa angka, kuantitas dan presentase.  Ya, begitulah ciri metode ilmiah yang asumsi dasarnya tidak ada akibat tanpa sebab.

Alurnya, logico-hypothetico-verificatif (buktikan logikanya, tarik hipotesis, ajukan bukti empiris). Sangat saintifik.

Hanya lewat sains pula, kiranya kita dapat secara obyektif memaparkan hal-hal yang berkenaan dengan hubungan orangtua-anak termasuk dampak sosio-kulturalnya dalam berkeluarga.

Dalam hal ini, tidak bisa dipungkiri bahwa penelitian sains telah menjadikan kebudayaan secara umum, sebagai barang jadi yang sudah sempurna dan baku, serta tingkat pembenaran praktiknya hampir seratus persen.

Sebagai contoh, ketika Amy Chua dalam bukunya (Battle Hymn Of Tiger Mother), memaparkan dua metode pola asuh anak, model timur yang cenderung tegas dan keras, serta model barat yang suportif dan santai, dengan masing-masing kekurangan serta kelebihannya.

Maka yang menarik orangtua kedalam sudut pandang Amy Chua adalah bagaimana pola asuh serta kebudayaan model timur dan barat, lalu bagaimana anak-anak timur dan barat hidup menurut nilai dan norma yang masing-masing dari mereka anut.

Orangtua tersebut telah menerima buku Amy Chua sebagai barang jadi yang sudah mantap, tanpa memperhatikan pola-pola tersebut bekerja dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Yang tidak dipersoalkan orangtua adalah bagaimana seorang Amy Chua membentuk pola asuhnya, serta sejarah panjang terbentuknya pola kebudayaan berkeluarganya.

Mungkin juga, beragam penelitian parenting serta literatur lain disikapi sama, yaitu hal yang sudah baku, sempurna dan tak tersentuh oleh probabilitas tingkah laku anak masing-masing. Sehingga disikapi sikap taken for granted. Disinilah letak bahayanya.

Metode parenting pada umumnya pula, yang selalu meletakkan hasil risetnya untuk membentuk pola asuh orangtua terhadap anak.

Disini, diketahui pula bahwa pola asuh orangtua terhadap anak dalam metode ilmiah melulu sebagai subyek, bukan objek penelitian.

Hal ini semakin menegaskan jurang pemisah antara norma serta nilai yang menurut riset tadi sudah dianggap baku dan final bagi sebagian besar orangtua, dengan pola asuh anak sebagai pendukung suatu kebudayaan.

Gagasan ini ketika diaplikasikan akan terkesan menyudutkan anak serta tingkah lakunya sebagai pihak yang patut untuk disalahkan.

Ketika prestasi akademik anak menurun, maka jam belajar anak yang kemudian ditambah, jam bermain dan hal-hal lain yang tidak menunjang dikurangi. Perubahan bukan dari sisi nilai dan norma, serta pola asuh yang dianggap benar oleh orangtua.

Dengan kata lain, orangtua telah menuduh anaknya malas sehingga prestasi akademiknya jeblok.

Maka seluruh tanggungjawab terhadap nilai pelajaran sekolahnya dibebankan kepada anak karena tidak mau belajar giat, sementara kewajiban orangtua untuk mengiringi proses belajar tidak pernah disinggung.

Pertanyaanya kemudian, aApakah selalu studi ilmiah dan hasil risetnya mempengaruhi pola asuh orangtua terhadap anak dan meletakannya sebagai subyek?

Bukan sebaliknya, pola asuh orangtua berperan aktif memberi bentuk dan isi kebudayaannya dan lingkungan hidupnya?

Jika merujuk pada contoh, maka konsep bahwa prestasi akademik anak dibentuk oleh tradisi belajar giat harus diimbangi dengan konsep lain bahwa prestasi akademik dibentuk para pendukung kebudayaan, dalam hal ini orangtua sebagai pendukung kebudayaan yang paling konkret.

Ya, pola asuh tidak cukup bila hanya dipandang sebagai nilai, norma dan kebenaran, sebagaimana tertulis dalam literatur serta buku-buku, Tetapi harus juga dapat dipandang sebagai wacana konstruksi kebudayaan anak, yang di dalamnya terdapat ide, partisipasi aktif dan keterbukaan, yang kemudian menciptakan kekuatan kebudayaan, serta dipraktekan dalam kebiasaan sehari-hari secara terus menerus.

Tren pada keluarga di Indonesia, proses konstruksi sosial budaya berlangsung juga secara beragam.

Pola asuh dari orangtua, ada yang sejalan dengan apa yang tertulis pada penelitian, ada yang tidak. Keduanya sama-sama mempunyai andil besar dalam membentuk kebudayaan anak.

Karena pada praktiknya akan membentuk suatu kebudayaan dalam konteks sejarah yang konkret.

Dapat dipahami pula, bahwa tidak melulu kebudayaandan tradisi yang tertulis pada penelitian ilmiah yang mempengaruhi anak serta prestasi belajarnya, tingkah laku orang tua juga turut andil membentuk kebudayaan anak serta meningkatkan itu semua.

Tidak selaluprestasi belajar juga yang dipengaruhi sebagaimana contoh diatas, karena nyatanya tingkah laku orangtua mempengaruhi kebudayaan anak dalam hal dan bidang apapun.

Maka, orangtua hendaknya lebih aktif memberi bentuk dan isi tadi. Simpul masalahnya bukan apa yang pada buku dan literatur tuliskan. Hal tertulis tersebut hanya sedang mengiyakan apa yang orangtua rasa.

Orangtua, bentuklah kebudayaan anak dengan meletakan diri anda sebagai pendukung kebudayaan. Lewat pengalaman hidup anda, ciptakanlah kebudayaan lewat sejarah keluarga anda sendiri, bukan keluarga orang lain.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini