News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Hindari Konsumerisme Jika Ingin Sejahtera

Penulis: Benny Timotius
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ditengah mata uang Indonesia yang akhir-akhir ini melemah, Komunitas Sayang Dompet menggelar aksi solidaritas di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, saat acara Car Free Days, Minggu (1/9/2013). Dengan berkostum mirip dompet, para anggota komunitas itu mengajak masyarakat untuk tidak berperilaku konsumtif. Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha

TRIBUNNERS - Manusia sejatinya merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, contohnya adalah perilaku konsumsi kita. Di saat yang lain memproduksi nanti ada yang mengonsumsinya, begitupun sebaliknya.

Perilaku konsumsi ini sudah berjalan sejak jaman dulu, seperti perdagangan di jalur Sutra. Perilaku konsumsi ini jika dilakukan secara berlebihan atau biasa disebut konsumtif, maka akan dimanfaatkan oleh pihak pihak tertentu.

Hal ini disebut Konsumerisme. Konsumerisme adalah sebuah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang melakukan proses konsumsi atau pemakaian barang hasil produksi secara berlebihan.

Biasanya hal ini tidak disadari oleh seorang atau sekelompok individu dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan mereka pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan itu sangat sulit dihilangkan. Apabila seorang konsumtif menjadikan kekonsumtifannya sebagai gaya hidup, maka orang tersebut menganut paham konsumerisme.

Konsumerisme tidak terlepas dari paham kapitalisme, tujuan ekspansi kapitalisme global oleh negara-negara maju adalah terjadinya globalisasi, yakni para kapitalis (negara-negara maju) menuntut agar segala urusan tata perekonomian seluruh dunia diserahkan kepada mekanisme pasar bebas.

Dimana pelaku kapitalisme adalah negara-negara yang mempunyai modal yakni yang termasuk dalam negara-negara maju.

Dari sinilah muncul sistem penjajahan baru untuk menaklukkan negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka seperti Indonesia.

Pada tanggal 31 Desember 2015, Indonesia memasuki ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Di era perdagangan global sekarang ini jarak yang ada semakin kabur, kita semakin didekatkan dengan adanya bantuan teknologi.

Apalagi dengan resminya Indonesia bergabung AEC/MEA, negara - negara tetangga di ASEAN bebas melakukan usaha bisnis, pengiriman tenaga kerja, dan lain - lain.

Sebenarnya sebelum 31 Desember 2015 pun hawa perdagangan global sudah terasa, contohnya Research In Motion atau Blackberry sudah membuka kantornya di Indonesia pada tahun 2010,  dan masih banyak lagi.

Mari kita menilik gaya hidup masyarakat Indonesia masa kini pada umumnya, masyarakat sekarang cenderung lebih mementingkan gengsi atau lebih mementingkan keinginan daripada kebutuhan, contohnya siapa yang tidak tahu Apple iPhone?

Tidak sulit untuk mencari pengguna smartphone berlogo apel yang digigit tersebut di sekitar kita.

Selain itu masyarakat masa kini banyak mengikuti gaya hidup dunia barat yang cenderung mewah atau glamor, seperti makan di restoran cepat saji, jika diasumsikan sekali makan 50 ribu Rupiah untuk satu orang, maka untuk satu keluarga dengan 4 orang dapat menghabiskan kira – kira 200 ribu Rupiah.

Salah satu faktor penyebab perilaku konsumtif seperti yang saya ujarkan di atas yaitu naiknya tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia sejak tahun 2000, bahkan pada tahun 2014 grafik tingkat kesejahteraan dan turunnya minat untuk menabung bersilangan.

Sekilas terlihat hal di atas bukanlah hal yang buruk, namun meski sejak tahun 2000 kesejahteraan masyarakat Indonesia terus meningkat yang ditandai dengan peningkatan pendapatan perkapita, justru tidak seiring dengan angka Gross National Savings per GDP yang malah stagnan.

Tercatat, Gross National Savings per GDP Indonesia sebesar 30,87 persen. Angka tersebut di bawah China yang sebesar 48,87 persen, Singapura 46,73 persen, dan Korea 35,11 persen.

Hal ini terjadi karena lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bahkan tercatat hanya 4.7 % pada kuartal II 2015.

Disini saya tidak membahas lebih dalam lagi tentang GDP Indonesia, pertanyaannya apakah dengan budaya konsumerisme Indonesia sekarang ini benar – benar terjadi karena kesanggupan ekonomi mereka?

Apa jangan – jangan masyarakat kita rela melakukan hutang demi memenuhi hasrat konsumsi mereka? Jangan sampai kejadian kredit macet pada masa Orba yang disebabkan hutang para konglomerat terulang kembali oleh kredit macet konsumsi.

Oleh sebab itu, penting sekali untuk dapat mensosialisasikan dan mendidik agar masyarakat Indonesia bisa menabung dan berinvestasi. Mulailah membuat konsep keuangan pribadi maupun keluarga sehingga mampu mengatur keuangan lebih baik dan dapat membantu kita semua untuk tidak menjad masyarakat yang memiliki budaya konsumerisme.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini