Ditulis oleh : Fraksi Nasdem
TRIBUNNERS - Pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme dinilai sulit. Kalangan LSM yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia (HAM), akan bereaksi keras terhadap pendekatan yang digunakan TNI dalam pemberantasan terorisme meski dari TNI menegaskan perannya dalam memberantas terorisme bukan tugas perbantuan.
“Sejujurnya mungkin mereka kurang setuju pelibatan TNI karena mungkin TNI sendiri belum cukup menjelaskan kepada publik bagaimana postur dan konstruksi pelibatan TNI ketika harus dilibatkan,” demikian disampaikan oleh anggota Pansus Revisi UU Terorisme Akbar Faizal di Kompleks Parlemen, Kamis (16/6/2016).
Lebih lanjut Akbar mempertanyakan jika TNI terlibat dalam pencegahan terorisme, koordinasi seperti apa yang akan dilakukan. Ia berujar bahwa selama Indonesia berdiri pola koordinasi antar lembaga Negara masih buruk.
Silang sengkarut terkait koordinasi ini jangan sampai juga terjadi pada pencegahan dan pemberantasan terorisme karena sudah menjadi persoalan transnational crime.
Terkait usulan TNI membentuk lembaga baru sebagai wadah koordinasi, menurut Akbar tidak akan menjamin antar lembaga yang tergabung didalamnya bisa berbagi tugas dengan baik.
Kekhawatirannya adalah ketika negara dalam keadaan siaga terorisme bisa jadi terpecah.
“Ada sebuah badan atau organisasi yang sekiranya bisa mengumpulka semuanya. Apa tidak berantem lagi yang komandan siapa gitu? Harus dari TNI atau polisi? Yang gini- gini bisa terjadi slap stick dan bukan menjadi hal baru di dalam lembaga," tuturnya.
Ia berharap pembahasan revisi UU terorisme bisa menjawab keresahan-keresahan terutama terkait koordinasi. Sebab saat ini terorisme masih didefiniskan sebagai tindak pidana, secara otomatis semua terkait kasus ini masuk pada kewenangan kepolisian.