Ditulis oleh : Front Mahasiswa Nasional
TRIBUNNERS - Kasus kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai Sumatera Utara yang berujung pada pembakaran 8 kelenteng, 2 vihara dan 1 panti sosial (29/07/2016) merupakan tindakan intoleransi yang tidak bisa diterima di negara majemuk seperti Indonesia.
Negara melalui pemerintah daerah dan aparat kepolisian seharusnya mampu memberikan rasa aman kepada rakyatnya dan mencegah pembakaran tempat-tempat yang menjadi simbol agama.
Di sisi lain, masyarakat mampu menahan diri dan bersatu melawan semua bentuk provokasi ataupun hal-hal yang menyulut tindakan intoleransi atas nama suku, agama dan ras.
Dengan komposisi penduduk yang multi-etnis, multi-agama di Sumut secara khusus, menyaratkan peran besar dari negara untuk mampu menjamin hak hidup seluruh rakyatnya.
Selain itu, tentu bukan tanpa alasan mengapa rakyat begitu mudah diprovokasi melakukan tindakan-tindakan intoleransi.
Ketimpangan sosial, upah buruh murah, perampasan tanah, rendahnya partisipasi pendidikan, pengembangan nasionalisme sempit, tindakan fasisme merupakan faktor-faktor penyebab kekacuan di tengah masyarakat.
Selain persoalan di Tanjung Balai, Juga terjadi konflik antara pihak pengembang dengan warga tempat pembangunan relokasi pengungsian korban erupsi sinabung, Karo Sumut.
Warga yang memprotes pembangunan tempat relokasi di tanah adat tanpa ada persertujuan maupun ganti rugi dari pengembang maupun pemerintah, malah ditanggapi dengan penangkapan 5 warga.
Akibat penangkapan itu, warga mendatangi Mapolres Karo untuk segera membebaskan warga yang ditahan.
Namun pihak polres tidak mampu mengakomodir aspirasi hingga berakhir ricuh dan berujung meninggalnya 1 orang warga karo (29/07/2016).
Berdasarkan keterangan, 1 orang tewas bernama Ganepo Tarigan (48), warga Desa Lingga. Dia tewas dengan kondisi kepala pecah dan berlumuran darah.
Namun, hingga saat ini belum diketahui secara pasti penyebab tewasnya Ganepo Tarigan. Polisi setempat menyatakan bahwa itu bukan ditembak.
Sementara beberapa informasi dari warga membenarkan Polisi sempat mengeluarkan beberapa kali tembakan.
Peristiwa berdarah di Tanah karo ini merupakan buah dari kegagalan negara akibat belum menyetujui program relokasi tahap II kepada 1683 KK khususnya untuk lahan pertanian seluas 975 Ha.
Oleh karena itu, kami dari Pimpinan Pusat FMN menyatakan sikap dan tuntutan kepada kapolda Sumut, Polres Karo dan gubernur Sumut.
Mengecam segala bentuk tindakan intoleransi atas nama suku, agama, ras. Sebab Keanekaragam suku, agama, ras mensyaratkan kita untuk hidup berdamping-dampingan secara damai. Musuh kita sama yakni, penindasan.
Negara gagal menciptakan keharmonisan, kedamaian dan keamanan bagi warga Sumut. Konflik SARA kerap menjadi bentuk politisasi Negara untuk menciptakan konflik horizontal demi meredam protes, aksi akibat kegagalan negara mensejahterakan rakyat.
Usut tuntas kematian Ganepo Tarigan dan segera bentuk team pencari fakta yang Independen. sehingga penyebab kematian saudara Ganefo Tarigan jelas dan dapat diketahui siapa pelaku yang harus bertanggung jawab.
Pemerintah harus segera merelokasi pengungsi erupsi Gunung Sinabung dan menyediakan hak-hak ekonomi, budaya, sosialnya, serta memenuhi hak-hak warga Desa Lingga.
Kami juga menyerukan kepada FMN Se-Indonesia untuk mengkampanyekan perdamaian dan persatuan rakyat untuk melawan kekerasan negara maupun yang mengatasnamakan SARA.
Secara khusus kami juga meminta kepada FMN Cabang Kota Medan untuk melakukan Kampanye dan advokasi atas tewasnya Ganefo Tarigan dan berjuang untuk warga pengungsi erupsi Gunung Sinabung.