Pemaparan Hardly ini justru membuat saya semakin kesal dan muak. Saya membacanya beberapa kali, dan tiap kali selesai membaca, saya, kok, ya jadi bertambah yakin bahwa KPI memang melakukan pengaburan dengan didasari pertimbangan menghindarkan orang dari perasaan terangsang.
Muncul pertanyaan lain. Jika memang benar terangsang, lalu apa? Apakah keterangsangan lantaran melihat atlet berenang atau yang akan berenang di ajang PON akan membuat orang terdorong melakukan pemerkosaan, misalnya? Apakah keterangsangan setelah melihat siaran pertandingan renang, atau pertandingan voli, sepakbola, tenis, bulutangkis, senam, dan olahraga- olahraga lain yang menampilkan atlet perempuan akan menyeret langkah orang ke tempat- tempat pelacuran?
Saya tidak tahu. Mungkin saja ada, karena memang tak bisa dimungkiri pula betapa tidak sedikit atlet perempuan yang memang sungguh aduhai. Alana Blanchard, Lauryn Eagle, Clair Bidez, Alex Morgan, Maria Sharapova... Ah...
Sekali lagi saya tidak tahu persis. Pastinya, Saya beberapa kali berkesempatan mewawancarai pelaku-pelaku pemerkosaan atau pelecehan seksual dan rata-rata jawaban mereka saat ditanya kenapa melakukan perbuatan tersebut adalah karena khilaf.
Kenapa sampai bisa khilaf? Ada banyak sekali alasan. Ada yang bilang karena dendam. Cinta yang ditolak, cinta yang diakhiri sepihak, cinta yang dikhianati. Ada yang bilang karena terlalu cinta sehingga ingin mendapatkan madu cinta itu sebelum waktunya. Atau memang "bawaan badan", sejenis penyakit psikologis di mana yang bersangkutan selalu kesulitan menahan gejolak libido tiap kali melihat perempuan (atau melihat laki-laki?). Ada juga yang sembari cengengesan mengatakan bahwa mereka sekadar iseng.
Adakah yang terpengaruh pada hal-hal yang dapat membangkitkan hasrat bercinta? Ada, bahkan banyak jumlahnya. Mereka membaca cerita porno, melihat gambar-gambar porno, menonton film-film porno.
Entah kawan-kawan wartawan lain. Namun, setidaknya sampai sejauh ini, saya belum pernah mendengar secara langsung persaksian pelaku-pelaku kejahatan seksual yang menyebut bahwa mereka melakukan aksi itu lantaran terangsang usai menonton siaran olahraga yang menampilkan atlet-atlet perempuan dalam balutan busana minim.
Tapi jika pun ada, hampir bisa dipastikan, mereka merupakan orang-orang yang mengalami cacat jiwa dan cacat mental dan cacat pikir. Menonton olahraga, ya, menonton olahraga saja. Menonton teknik, mencermati strategi, mengagumi semangat dan daya juang, menikmati kemenangan. Menonton olahraga, kok, dijadikan objek seksual. Jangan "ngeres"!
Sampai di sini --tentu saja-- menyeruak pula pertanyaan, apakahKPI dan lembaga-lembaga penyiaran menganggap semua penonton televisi Indonesia mengalami cacat jiwa dan cacat mental dan cacat pikir? Apakah KPI dan lembaga penyiaran berasumsi bahwa semua penonton televisi Indonesia adalah orang-orang "ngeres", orang-orang sangat gampang terangsang sehingga perlu dilakukan tindakan khusus berupa pengaburan agar keterangsangan itu tidak muncul dan mereka terhindar dari perbuatan yang dilarang negara dan dilaknat Tuhan?
Jawabannya bisa panjang juga. Barangkali dalam bentuk pembelaan yang dipapar dengan kalimat-kalimat yang serba rumit sehingga terkesan terpelajar. Sah-sah saja. Dan saya tidak ingin sepenuhnya menyalahkan KPI dan lembaga-lembaga penyiaran. Sebab makin ke sini orang-orang di negeri ini memang makin mudah terangsang dan meledak.
Terangsang untuk tersinggung, terangsang untuk mencibir, untuk mengejek, untuk mencela. Terangsang untuk marah-marah. Terangsang untuk menduga-duga dan mengambil kesimpulan dari satu persoalan dan mengumbar dugaan dan kesimpulan ini dengan tingkat keyakinan yang sempurna. Dan ini tidak lepas dari tayangan televisi juga. KPI dan lembaga-lembaga penyiaran, barangkali, bisa memikirkan cara untuk meredamnya.
T Agus Khaidir