Peristiwa yang terjadi dalam unjuk rasa 4 November lalu, sebenarnya ia hanya momentum bagi siapa saja untuk mengambil yang terbaik.
Ia adalah jeda untuk sadar diri bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak lazim.
Ketidaklaziman itu tak lain adalah ancaman disintegrasi antarwarga yang ujung-ujungnya akan berimbas pada tantangan keutuhan yang lebih besar, negara.
Sebelum situasi ini semakin larung dalam atmosfer yang kontraproduktif, semua pihak butuh menahan diri untuk kedaulatan semesta berencana.
Pertama, apa yang terjadi dalam kasus Ahok sejatinya dijadikan ruang istirah untuk menjadikan diri sebagai yang eling lan waspodo.
Kedua, para politisi, apapun partainya, butuh melakukan dekomersialisasi ayat suci untuk sekedar memenangkan kontestasi dalam kompetisi politik.
Ketiga, menampilkan kesadaran bersama bahwa membersihkan yang jorok itu tidak bisa dengan mengunakan sapu yang kotor belepotan.
Lagi pula, bukankah menuduh seseorang telah berbuat nista dengan cara menista, tidakkah prilaku ini juga termasuk nista yang lebih nyata?
Keempat, ada sinyal yang cukup kuat bahwa Pancasila belum sepenuhnya menjadi ruh dan jiwa bangsa.
Ini ditandai dengan begitu mudahnya warga tersulut yang menyebabkan orang lain, bahkan dirinya, tersudut.
Kelima, ada banyak hal yang dilupakan dalam aspek kebangsaan terutama bahwa semua warga adalah saudara.
Kalau semua sudah menjadi satu dan bersekutu, lalu untuk apa berseteru?
Ada banyak hal yang menyebabkan bangsa terancam bahkan terpuruk.
Di antaranya, datang dari dalam negeri seperti disintegrasi bangsa, keresahan sosial, upaya penggantian ideologi, makar, dan kehendak untuk perluasan daerah otonomi khusus tanpa alasan yang jelas.