Ekspresi tak lazim itu dipertunjukkan saat ia seolah sedang ingin ‘menengahi’ perdebatan yang sebetulnya tidak perlu terjadi antara Anies dan Sylvi. Padahal, pada saat itu Ahok belum mendapatkan giliran tampil.
Walaupun tingkah Ahok itu bisa saja ditangkap sebagai aksi ‘lucu-lucuan’ belaka, tetapi jika ditinjau dari sisi etika dan unsur kepantasan, maka tingkahnya itu bisa juga disebut sebagai bentuk pelecehan terhadap forum debat.
Sebab, debat sejatinya merupakan mimbar politik yang bersifat formal atau resmi dalam rangkaian kegiatan memilih pemimpin eksekutif di tingkat daerah.
Pertanyaannya, apakah dengan tingkahnya itu Ahok dapat disebut telah melanggar aturan debat? Jawabnya tidak pasti. Sebab, dalam tatib debat tidak ditentukan adanya larangan bagi paslon untuk bersikap seperti yang demikian.
Tetapi jika sikap Ahok yang ‘memotong’ sesi perdebatan Anies dan Sylvi dikaitkan dengan ketentuan poin pertama tatib debat, maka dapat saja hal itu dianggap sebagai sebuah pelanggaran.
Poin pertama tatib debat menyebutkan “...tidak diperkenankan bagi paslon untuk memotong jawaban paslon lainnya saat tengah memaparkan jawaban”.
Aturan debat yang dirumuskan dalam tatib memang terkesan persoalan sepele, tetapi dari sebuah aturan yang ‘remeh’ itu terkadang dapat diukur derajat kepatuhan para calon pemimpin terhadap suatu norma aturan yang sudah mereka sepakati sebelumnya.
Di sisi lain tatib debat yang kurang memadai dikhawatirkan dapat menjadi pintu masuk bagi paslon untuk mengakali aturan main yang pada gilirannya bisa memicu perdebatan yang tidak perlu di tengah masyarakat.
Oleh sebab itu, ada baiknya jika pada pelaksanaan debat putaran terakhir nanti KPU DKI Jakarta mau memperbaiki beberapa kekurangan yang terdapat dalam tatib debat, berkaca pada pelaksanaan debat putaran pertama dan kedua. Salam, 1, 2, 3.