Kita langsungkan itu semua dalam Deret Hitung, dan kalau yang kita lakukan adalah yang itu-itu juga yang sejauh ini kita lakukan, segera akan kita alami percepatan Deret Ukur. Terutama kalau kita terus melakukan Talbis. Talbis adalah peristiwa di surga ketika Adam dijebak dan ditipu oleh Iblis, karena menyangka yang datang kepadanya adalah Malaikat. Sang Iblis berpakaian Malaikat, sementara Adam belum terdidik oleh pengalaman untuk membedakan antara Iblis dengan Malaikat. Sebagaimana rakyat tidak pernah belajar memahami Talbis perpolitikan Negaranya.
Yang paling besar sumbangannya terhadap kehancuran NKRI adalah para pelaku Talbis. Manusia-manusia, kelompok, lembaga atau satuan yang memprogram ke-Iblis-an, mengkamuflasenya dengan kostum, formula, simbolisme dan teks seakan-akan Malaikat. Kostum nasionalisme, pewarnaan Merah Putih, serban Istighotsah dan lantunan suara surgawi. Tapi di belakang punggung melakukan rekayasa, bullying, kriminalisasi, skenario penumpasan, pembunuhan karakter, pemanfaatan pasal hukum, penyebaran meme-meme, pengaturan irama viral, serta apa saja untuk meneguhkan kekuasaan dan penguasaan.
Pandawayudha
Dalam peristiwa Bahtera Nuh terdapat polarisasi antara Kaum Beriman dan Kaum Ingkar. Dalam perang Bharata Yudha bertarung antara Pandawa yang mewakili kebenaran dan kebaikan, melawan Kurawa yang mewakili kebatilan dan kejahatan. Yang kita alami dengan NKRI hari ini adalah Pandawayudha.
Masing-masing pihak yang berhadap-hadapan merasa dirinya Pandawa. Bahkan sangat yakin dengan ke-Pandawa-annya. Masing-masing juga memiliki landasan nilai dan argumentasi yang kuat bahwa mereka Pandawa. Kwa-nilai dan substansi, keduanya bisa menemukan kebenaran dan kebaikannya. Ini Pandawayudha. Permusuhan antara Pandawa dengan Pandawa untuk dirinya masing-masing, atau Kurawa lawan Kurawa untuk penglihatan atas musuhnya masing-masing.
Mereka berhadap-hadapan dalam eskalasi kebencian dan pembengkakan permusuhan. Kalau didaftar, disensus, masing-masing adalah NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Tuhan menggambarkan dengan kalimat “tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta”: mereka berada di satu bulatan NKRI, dengan hati mereka terpecah belah.
Padahal titik krusialnya terletak pada turbulence pesawat dan guncangan kapal. Yang satu bersikukuh bunyi kokok ayam adalah “kukuruyuk”, lainnya bersikeras “kongkorongkong”, lainnya diam-diam menyimpulkan “kukeleku”, “kukurunnuk” atau “cock-a-doodle-doo”. Padahal yang benar sejati adalah si ayam itu sendiri.
Ada konstelasi Pribumi dan Non-Pribumi. Ada Arab, Habib, Sayyid, Syarif, Ahlul-Beyt. Di kejauhan sana ada Kiai, Yai, Ustadz, Ajengan, Tuan Guru. Di sekitar kita ada Cina Daratan, Cina Perantauan, Cina Benteng, dan Cina Toko. Padahal substansial menghampar juga Jawa Benteng dan Jawa Toko, Batak Benteng dan Batak Toko, pun Arab Benteng dan Arab Toko. Sebagian dari konstelasi itu kini sedang incar mengincar dan bermusuhan dengan parameter simbolik, bukan ukuran substansial dan hakiki kasunyatan perilaku. Pelaku SARA menuduh lainnya SARA, yang dituduh SARA terpojok untuk juga berlaku SARA.
Berlangsung dengan marak turbulensi alam pikiran, melahirkan guncangan sikap dengan pilihan kemiringan masing-masing. Ada yang miring karena diakibatkan oleh turbulensi, ada yang nempel ke salah satu dinding karena terlempar oleh guncangan. Tapi ada juga yang memanfaatkan kemiringan, mendayagunakan turbulensi, dan memanfaatkan guncangan. Bahkan ada yang pro-aktif merekayasa turbulensi, merancang guncangan, dan memperdaya para penumpang dengan meyakinkan bahwa itu tegak, bukan miring. Bahwa yang ini NKRI, yang itu makar. Yang ini Bhinneka Tunggal Ika, yang itu radikal.
Padahal pada hakekat dan kenyataannya, menurut tradisi terminologi Al-Qur`an, musuh utama Islam dan manusia adalah keingkaran (kufur), kemusyrikan (selingkuh), kemunafikan (hipokrisi, oportunisme), kefasiqan (lupa Tuhan sehingga lupa diri), juga kedhaliman (kejam dan mentang-mentang). Di antara semua itu yang ratusan kali lebih berbahaya dan sangat menyulitkan adalah kemunafikan: “mungsuh mungging cangklakan” (musuh yang nempel di ketiak) alias musuh dalam selimut.
Di dalam golongan-golongan yang saling bermusuhan terdapat Munafiqun-nya masing-masing. NKRI dan Bangsa Indonesia ini sendiri diperlakukan secara munafik oleh sebagian penghuninya. Dan itulah the true turbulence, guncangan sejati sejarah kita hari ini.
Pawang Kambing dan Sanggar Kenegarawanan
NKRI adalah abstraksi garis lurus vertikal gravitasi. Tetapi semua yang berdiri miring dan bermusuhan satu sama lain, meyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka tegak gravitatif. Terjadilah saling-silang garis-garis yang masing-masing adalah klaim gravitasi. Atau NKRI adalah patok kayu di mana kambing-kambing diikat lehernya dengan tali. Panjang pendeknya tali dari kambing ke patok itu bervariasi sesuai dengan potensi dan pencapaian masing-masing. Tetapi masalah NKRI hari ini adalah masing-masing kambing menancapkan patoknya sendiri-sendiri.
NKRI hari ini adalah kambing-kambing (bhinneka) berlarian pada kepentingan diri (tunggal)nya sendiri dan membikin patok (ika)nya masing-masing atau sendiri-sendiri. Sungguh kita para kambing ini butuh Penggembala, Negawaran, Panembahan, Punakawan, Begawan. Kalau semua pihak, Polisi, Tentara, Parpol, Ormas, Presiden, Menteri, Kiai dan Ulama, bahkan alam pikiran rakyat, tercampak di kurungan arena politik (praktis) – maka tidak perlu waktu lama bagi kambing-kambing itu untuk kehilangan lapangan rumput.
Telah berdatangan “Pawang-pawang Kambing” dari luar memasuki lapangan, bekerjasama dengan “Pawang-pawang Toko” yang sejak lama ada di lapangan. Secara bertahap dan sangat strategis gravitasi NKRI dikaburkan dengan diperbanyaknya gravitasi-gravitasi di sana sini, untuk pada akhirnya – sesudah sempurna delegitimasi gravitasi NKRI – akan dimapankan tancapan gravitasi baru, yang mungkin tetap bernama NKRI tapi sesungguhnya bukan lagi NKRI.
Dengan rancangan yang seksama dan hampir sempurna, kambing-kambing dirangsang dengan rumput-rumput di berbagai area, kemudian dipandu untuk menancapkan patoknya masing-masing. Telah berlangsung hampir menyeluruh amandemen atas gravitasi dan patok. Bangsa Indonesia sedang bergerak menuju bukan Bangsa Indonesia, dan Negara Indonesia menuju Indonesia baru yang hanya namanya saja.