Oleh : Eko Sulistyo
TRIBUNNEWS.COM - TUJUAN dan semangat Revisi Undang Undang (RUU) Pemilu yang kini dibahas di DPR tidak hanya melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pemilu Serentak pada tahun 2019, tapi juga mampu menjawab berbagai misi UU Pemilu yang diembannya.
Terutama, untuk meningkatkan efektifitas pemerintahan sistem presidensiil dengan basis dukungan rakyat dan DPR sesuai amanat konstitusi.
Dengan sistem presidensiil yang kuat dan efektif, Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, tapi juga basis dukungan dari DPR dalam rangka mewujudkan efektifitas pemerintahan.
Kedua, meningkatkan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan keterwakilan yang makin kuat. Ketiga, meningkatkan mekanisme pertanggung jawaban yang jelas.
Selama empat kali pemilu demokratis paska reformasi, 1999, 2004, 2009 dan 2014, memang telah terjadi konsensus bahwa pemilu satu-satunya mekanisme pergantian kepemimpinan secara regular dan damai (the only game in the town) yang menandai keberhasilan transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Namun tujuan lain yang menjadi misi UU pemilu belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Misalnya menghasilkan pemerintahan yang kuat, DPR yang efektif, partisipasi yang meningkat dan menciptakan sistem kepartaian yang sederhana.
Hal ini terjadi karena belum adanya kesesuaian antara tujuan dan misi UU Pemilu dengan amanat UUD 1945.
Pemilu 2004-2014 malah menghasilkan fenomena “Parlementarisasi Presidensialisme” dimana presiden yang terpilih, tidak mendapatkan dukungan mayoritas kursi di DPR.
Hal ini berakibat pada efektifitas roda pemerintahan, khususnya kebijakan yang membutuhkan persetujuan atau pengesahan DPR.
Kemenangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014 secara mayoritas (53,15%), tapi peta dukungan kursi di DPR hanya kisaran (36,96%). Hampir satu tahun lebih masa pemerintahannya tidak ada satupun RUU yang diajukan pemerintah untuk di bahas di DPR.
Hal ini normal mengingat pemerintah tidak memiliki dukungan mayoritas di DPR saat itu.
Munculnya problem kelembagaan antar Presiden dan DPR hasil pemilu ini karena tidak adanya kesesuaian antara UU pemilu legeslatif dengan pemilu presiden.
Jika RUU Pemilu tidak mampu mencegah kembali “parlementarisasi presidensialisme” maka hal ini akan memperlemah demokrasi ke depan.
Karena siapapun presiden yang terpilih akan melakukan tindakan semacam “kooptasi” parlemen maupun “kooptasi” non parlemen dalam upayanya mencapai dukungan signifikan (mayoritas) DPR.
Upaya ini akan menimbulkan disinsentif bagi upaya pelembagaan sistem kepartaian dan memperlemah budaya dan pelembagaan oposisi dalam perpolitikan di Indonesia.
Untuk itu, salah satu tantangan dalam pembahasan RUU Pemilu adalah bagaiman mendesain UU Pemilu yang mampu menjawab kebutuhan dan amanat konstitusi tersebut.
Eko Sulistyo adalah Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden.
Pokok pikiran ini disampaikan dalam diskusi publik, “RUU Pemilu, Telaah Kritis Terhadap Masa Depan Demokrasi Indonesia”, diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, Tanggerang Selatan, Rabu, 5 April 2017.