Oleh: Petrus Selestinus
Koordinator TPDI dan Advokat Peradi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - TPDI sangat menyesalkan sikap berang Fahri Hamzah tanpa dasar hukum.
Padahal dalam kapasitas sebagai Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah seharusnya memahami esensi dari kewenangan Administrasi Keimigrasian Menteri Hukum dan HAM dalam soal Pencegahan bersifat pasif dan wewenang KPK dalam bidang penindakan bersifat perintah.
Fahri Hamzah berpendapat seolah-olah keputusan pencegahan yang dikeluarkan oleh Dirjen Imigrasi terhadap Setya Novanto, semata-mata merupakan wewenang Menteri Hukum dan HAM dengan menegasikan wewenang KPK.
Pencegahan ke luar negeri oleh KPK terhadap Setya Novanto adalah berdasarkan perintah KPK sesuai dengan ketentuan pasal 91 ayat (2) huruf d UU No. 6 Tahun 2011, Tentang Imigrasi dan berdasarkan wewenang KPK menurut ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf b jo. Pasal 6 c UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Meskipun demikian Setya Novanto oleh ketentuan pasal 96 UU No. 6 Tahun 2011 diberikan hak untuk mengajukan "keberatan" secara tertulis disertai alasan (tanpa menunda pelaksanaan pencegahan) kepada Dirjen Imigrasi.
Pendapat lain Fahri Hamzah yang kontraproduktif adalah menempatkan kewenangan pencegahan seseorang dalam kasus korupsi ada pada Menteri Hukum dan HAM bukan pada KPK.
Ini membuktikan bahwa Fahri Hamzah tidak paham esensi ketentuan pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011, Tentang Imigrasi, bahwa dalam kasus korupsi pencegahan ke luar negeri oleh Menteri Hukum dan HAM dilakukan berdasarkan perintah Ketua KPK. Menteri Hukum dan HAM hanya menjalankan kewenagan Administratif Keimigrasian guna memenuhi perintah KPK sesuai ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf b UU No. 30 Tahun 2002, Tentang KPK, bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana pasal 6 c, KPK berwenang memerintahkan kepada instansi terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri.
Di sini kewenangan cekal KPK diatur dalam dua UU yaitu UU No. 6 Tahun 2011, Tentang Imigrasi dan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, yang dimulai sejak penyelidikan dilakukan atau masih berstatus sebagai Saksi.
Untuk menilai apakah terdapat kesalahan prosedure dalam pencekalan terhadap Setya Novanto, ukurannya sangat sederhana yaitu apakah Menteri Hukum dan HAM pernah menolak perintah untuk mencekal Setya Novanto dan apakah Setya Novanto pernah mengajukan keberatan terhadap pencekalan atas dirinya.
Kenyataannya Menteri tidak pernah menolak perintah cekal dari KPK dan Setya Novantopun tidak pernah mengajukan keberatan, malah memuji langkah KPK sebagai bagian dari proses hukum yang harus dihormati.
Dengan demikian sikap berang Fahri Hamzah bernada mengancam KPK bahwa KPK harus diikat dengan hukum, KPK harus hormati hukum, batasi kewenangan KPK dll., menjadi bukti bahwa pimpinan DPR sesungguhnya telah menanggalkan komitmennya untuk memberantas korupsi, menanggalkan fungsi pengawasan DPR dan menggunakan lembaga DPR untuk fungsi privat demi seorang Setya Novanto bahkan menjadi lembaga Anti Pemberantasan Korupsi.