News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Menteri PPA Sebut Kasus Kekerasan Anak Menurun, Bagaimana dengan Kasus Asahan?

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi

Penulis:
Amsyarnedi, Ketua Bidang Pengkajian Perlindungan Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
Henny Rusmiati, Sekretaris Jenderal

Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPA Indonesia) selama ini dikenal dengan nama Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA).

Penggunaan nama LPA Indonesia sebagai pengganti nama Komnas PA merupakan langkah kembali ke khittah 1998, yang sekaligus dilakukan sesuai regulasi agar tidak ada lagi kesan dualisme dengan KPAI.

Ketua Umum LPA Indonesia adalah Seto Mulyadi (Kak Seto), didampingi Henny Rusmiati selaku Sekretaris Jenderal.

Seorang anak berusia 12 tahun, diperkosa, lalu dibuang di hutan.

Tapi masya Allah, dengan perkasanya anak itu bangkit, berdiri, lalu berjalan ke perkampungan terdekat.

Kejadian di Asahan tersebut memantik pertanyaan tentang seberapa benar sesungguhnya pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) bahwa kasus kekerasan terhadap anak menurun sejak ada UU tentang pemberatan sanksi (kebiri).

Sebelumnya dalam pemberitaan media online, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Yohana Yambise mencanangkan aksi penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Dia menyebut kasus kekerasan anak sudah menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Acara digelar di di Pantai Losari, Makassar, Minggu (23/4/2017).

Dalam pencanangan ini yang dihadiri Wali Kota Makassar Ramdhan Pomanto dan Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPPA) Makassar Andi Tenri Palallo, Menteri Yohana, sesuai tema kegiatan "Jelajah 3Ends" meminta semua lapisan masyarakat menghentikan kekerasan pada perempuan dan anak, menghentikan perdagangan manusia (traficking) dan mengakhiri ketidakadilan akses ekonomi untuk perempuan.

Yohana dalam keterangan persnya menyebutkan kasus kekerasan pada anak seringkali dilakukan oleh orang terdekatnya, baik di rumah sendiri maupun di lingkungannya. Seringkali pula, kasus kekerasan pada anak tidak diproses hukum karena korban maupun keluarganya enggan melapor ke kepolisian.

"Tahun ini kasus kekerasan anak memang menurun jika dibandingkan tahun 2014-2015, sebelum UU Pidana Kebiri diberlakukan, tapi ini seperti fenomena gunung es, harus dideteksi dan ditangani secara serius, pelaku harus ditindak sesuai UU No 17 Tahun 2016, pelaku kekerasan anak bisa dipidana sampai hukuman mati, makanya kekerasan pada anak dan perempuan harus diakhiri," ujar Menteri Yohana.

Basis data kita tentang perlindungan anak belum terbangun secara baik. Masing-masing lembaga punya basis data sendiri-sendisi, dengan metode sendiri-sendiri, dan tidak terintegrasi satu sama lain.

Malah ada tokoh dan organisasi perlindungan anak tertentu yang datanya tentang kekerasan terhadap anak sepenuhnya rekayasa.

Juga, kalau jumlah kasus menurun seperti kata Menteri, itu boleh jadi kabar buruk.

Jumlah kasus berdasarkan kejadian, kita tidak akan pernah tahu. Pokoknya berlaku asumsi puncak gunung es.

Sedangkan jumlah kasus berdasarkan laporan, dan itu yang sangat mungkin menjadi acuan Menteri PPPA, jika angkanya terus mendaki, itu justru baik.

Itu penanda bahwa korban dan masyarakat lebih berani melapor, media lebih intens memberitakan, polisi lebih serius melakukan penanganan.

Lain sisi; kita hirau pada naik turunnya jumlah kasus (jumlah pelaku). Tapi kita belum cukup peduli bicara tentang naik turunnya kasus dalam pengertian berapa jumlah korban, berapa korban yang terehabilitasi, berapa korban yang mendapat restitusi, berapa korban yang kasusnya diselesaikan lewat jalur non-yudisial (dan itu bisa bertentangan dengan UU), serta berapa korban yang berhasil manjadi penyintas.

Padahal jumlah kasus yang berfokus pada korban adalah jauh lebih penting. Yaitu agar negara punya kesiapan lebih besar menggerakkan anggaran dan program yang ditujukan untuk menyelamatkan korban.

Kritisi terhadap pernyataan Bu Menteri di atas juga memunculkan pertanyaan tentang seberapa jauh partisipasi masyarakat dalam menentukan naik turunnya jumlah laporan.

Sisi lain, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia saat ini tengah mengembangkan aplikasi perlindungan anak berbasis ponsel.

Harapannya, aplikasi ini bisa memfasilitasi kepedulian masyarakat agar mampu memberikan tanggapan dan aksi secepat mungkin terhadap situasi-situasi kritis terhadap anak.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini