News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Hak Angket KPK

Ketika KPK dan Pansus Saling Membidik

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah aktivis melakukan parodi pertemuan anggota Pansus Hak Angket KPK dengan narapidana kasus korupsi di depan Gedung KPK, Jakarta, Minggu (9/7/2017). Aksi tersebut untuk mengkritisi pertemuan Pansus Hak Angket KPK dengan narapidana kasus korupsi di LP Sukamiskin yang hal tersebut dinilai akan melemahkan KPK. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Saling membidik. Itulah yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK. Siapa cepat, dia dapat.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengarahkan bidikannya ke Senayan, markas DPR, dengan menyatakan segera ada tersangka baru atau tersangka keempat kasus korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP setelah Sugiharto, Irman, dan Andi Agustinus Narogong.

Kalangan DPR pun dilanda “gegana” (gelisah, galau dan merana), terutama mereka yang pernah diperiksa KPK, termasuk Ketua DPR Setya Novanto dan Ketua Pansus Agun Gunandjar Sudarsa.

Seakan mengulur waktu, atau mungkin menghindari bidikan, Novanto mangkir dari panggilan KPK yang sedianya akan memeriksanya untuk kesekian kali, Jumat (7/7/2017), dengan dalih sakit vertigonya kambuh.

Begitu pun Agun yang sedianya diperiksa KPK kesekian kali pula, Kamis (6/7/2017), mangkir dengan dalih memimpin kunjungan Pansus ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin, Bandung, untuk mendapatkan testimoni. Testimoni para koruptor tersebut kemudian dikapitalisasi Pansus menjadi “amunisi” yang hendak dibidikkan ke Kuningan, markas KPK.

Siapa yang bidikannya akan mengenai sasaran terlebih dalu, KPK atau Pansus? Kita tidak tahu pasti.

Yang jelas, pemeriksaan terhadap anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 yang namanya disebut menerima fulus proyek e-KTP, plus Novanto, akan dituntaskan KPK dalam pekan ini.

Ini menjadi senjata ampuh KPK untuk “membungkam” Pansus, meski kita yakin Pansus tidak akan benar-benar bungkam, bahkan serangannya akan lebih membabi buta, seandainya pimpinan Pansus atau bahkan Ketua DPR menjadi tersangka.

Menjadikan kesaksian penyidik senior KPK Novel Baswedan di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan Miryam S. Haryani, tersangka pemberian keterangan palsu kasus e-KTP, ditekan oleh enam anggota DPR, sebagai entry point atau titik masuk pembentukan Pansus Hak Angket KPK,

Pansus kemudian mengapitalisasi banyak hal seperti testimoni para koruptor tentang banyaknya penyimpangan dalam proses penyidikan KPK, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pengelolaan keuangan KPK, dan kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dengan memanggil Yusril Ihza Mahendra, Menteri Hukum dan HAM era Presiden Megawati Soekarnoputri, Senin (10/7/2017), untuk didengar kesaksiannya di Pansus tentang latar belakang pembentukan KPK. Itu semua akan menjadi “amunisi” Pansus dalam melumpuhkan KPK bahkan membubarkannya.

Anjing Menggonggong

Sejatinya telah banyak “amunisi” yang dilontarkan KPK beserta para pendukungnya ke Senayan, mulai dari ilegalitas Pansus hingga salah sasaran, namun para politisi itu tetap bergeming. Ibaratnya, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.

Di antara para pendukung KPK itu ialah 400 profesor antikorupsi, tokoh lintas agama yang dimotori KH Shalahuddin Wahid, Indonesia Corruption Watch (ICW), Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni), PUSAKO Universitas Andalas, Padang, dan Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Mahfud MD yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Berdasarkan kajian dari 132 pakar hukum tata negara, Mahfud berpendapat, ada tiga hal yang membuat pembentukan Pansus Hak Angket KPK cacat hukum. Pertama, subjeknya keliru; kedua, objeknya keliru; dan ketiga prosedurnya keliru.

ICW mencatat, Pansus menabrak tiga undang-undang (UU) sekaligus, yakni UU No. 17 Tahun 2004 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), khususnya Pasal 199 dan Pasal 201; UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK; dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, khususnya Pasal 17. Mantan Ketua MK lainnya, Jimly Asshiddiqie, juga menilai legitimasi Pansus kurang.

Sebaliknya, Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunandjar keukeuh pansus legal. Menurutnya, berbagai tafsir hukum dari akademisi tidak berhubungan dengan kinerja Pansus. Sebab, katanya, sebagian akademisi hukum lain berpendapat pengajuan angket sudah benar dan sesuai aturan.

Apalagi setelah terbitnya Lembaran Berita Negara pada Selasa (4/7/2017) yang memuat Keputusan DPR No. 1/DPR RI/V/2016-2017 tentang Pembentukan Panitia Angket Terhadap Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan KPK.

Kini, dengan telah dimuatnya pada Lembaran Berita Negara, keberadaan Pansus Hak Angket KPK secara yuridis diakui legalitasnya. Ibarat bertinju, KPK dan Pansus pun dalam posisi head to head. Bahwa sebagai manusia biasa para komisioner dan penyidik KPK berpotensi berbuat salah, benar adanya.

Itulah yang menjadikan Pansus ngotot hendak membuka “Kotak Pandora” KPK, meskipun tak bisa dinafikan ada asumsi lain, yakni Pansus hendak melindungi para anggota DPR yang namanya disebut terlibat kasus e-KTP, bahkan menggagalkan penyidikan kasus yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun itu. Bagi KPK, kalau memang marasa tidak bersalah, tak ada alasan untuk “gegana” menghadapi Pansus.

Koreksi memang diperlukan atas lembaga apa pun, termasuk KPK. Tapi kalau ujung-ujungnya DPR hendak membubarkan KPK, tentu harus berhadapan dengan rakyat. Dalam sejumlah survei, rakyat lebih banyak mendukung KPK daripada DPR.

Bahkan bila ada pilihan mana yang harus dibubarkan, KPK atau DPR, mayoritas rakyat akan memilih membubarkan DPR, meskipun hal itu tidak mungkin, karena keberadaan DPR tercantum dalam konstitusi UUD 1945, sementara KPK tidak, sehingga berpotensi untuk dibubarkan.

Bagi KPK, menetapkan tersangka baru kasus e-KTP lebih cepat lebih baik, karena setidaknya bisa mendegradasi legitimasi Pansus secara moral di mata publik. Atau justru Pansus akan lebih garang setelah ada tersangka baru e-KTP dari kalangan mereka? Kita tunggu saja tanggal mainnya!

Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini