Dengan demikian, istilah "verifikasi faktual" sah secara hukum dan segala pernyataan bahwa verifikasi faktual tidak dikenal dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dinyatakan sesat dan menyesatkan serta tidak berdasarkan hukum dan logika penalaran.
Solusi dan Akibat Hukum
Pelaksanaan verifikasi faktual dengan alasan ketidakcukupan waktu dan anggaran bisa dberikan solusi dengan:
Pertama, menambah waktu jadwal verifikasi terhadap parpol lama sampai sebelum jadwal pengajuan daftar calon sementara (DCS) caleg parpol sekitar awal Juli 2018 berbarengan dengan jadwal yang sudah ditetapkan. Pengumuman parpol peserta pemilu pada 18-20 Februari 2018 dapat saja direvisi dengan menambah waktu tugas atas pertimbangan pelaksanaan putusan MK.
Kedua, waktu 5 (lima) bulan yang tersedia untuk melakukan verifikasi faktual tentu saja tidak harus menggunakan waktu maksimal tetapi KPU dapat melakukannya dengan teknik atau metode verifikasi yang lebih efektif dan efesien tanpa mengurangi bobot, kualifikasi dan aspek akuntabilitas.
KPU setelah rapat dengar pendapat (RDP) dengan komisi II DPR (18/1) telah menyatakan akan menggunakan metode sampling sebesar 5 persen atau 10 persen dari rasio populasi jumlah penduduk yang memiliki hak pilih. Secara ilmiah, metode sampling dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan sehingga dapat dilaksanakan secara baik dan benar.
Ketiga, KPU dapat menggerakkan infrastruktur yang tersedia dan menjangkau sampai ke lapisan bawah dengan melibatkan tingkatan pusat (KPU) hingga KPUD dan KPPS. Dengan ketersediaan SDM demikian saya percaya KPU dapat menjalankan verifikasi faktual sesuai dengan jadwal tanpa mengganggu jadwal tahapan pemilu lainnya.
Keempat, kebutuhan tambahan anggaran KPU sebesar Rp 68 Miliar untuk memverifikasi secara faktual 12 parpol lama tidaklah berat karena pelaksanaan pemilu merupakan tanggungjawab bersama semua stakeholders termasuk DPR dan Pemerintah dibandingkan dengan risiko kemungkinan pemilu ulang yang akan menelan biaya sebesar Rp 15 Triliun.
Akibat hukum putusan MK yang tidak dilaksanakan merupakan pelanggaran hukum yang dapat dipidana sesuai ketentuan Pasal 476 sampai Pasal 554 UU Pemilu. Putusan MK sederajat dengan undang-undang sehingga kedudukan hukum putusan MK sama kuatnya dengan UU sesuai ketentuan Pasal 57 ayat (3) UU MK.
Apabila verifikasi faktual tidak dilaksanakan maka akan berakibat hukum berupa: Pertama, hasil pemilu dapat dinilai cacat hukum karena persyaratan berupa verifikasi faktual tidak dilakukan sebagai syarat kepesertaan pemilu. Konkritnya, peserta pemilu diikuti oleh peserta parpol yang tidak memenuhi persyaratan (parpol tidak sah) sesuai ketentuan Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu.
Kedua, akibat pemilu yang diselenggarakan dimana pesertanya merupakan parpol yang tidak memehi persyaratan mengakibatkan hasil pemilu juga dinilai cacat atau tidak sah.
Ketiga, pihak-pihak terkait baik parpol peserta pemilu atau warga negara Indonesia yang berhak memilih dapat mengajukan gugatan hukum ke pengadilan dengan dalil peserta pemilu diikuti oleh parpol yang tidak memenuhi persyaratan.
Keempat, Gugatan pihak-pihak yang keberatan hasil pemilu kemungkinan besar akan dimenangkan pihak penggugat oleh MK karena melanggar ketentuan Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu dimna MK sendiri sudah memutuskan wajib-nya verifikasi faktual.
Kelima, disamping pembatalan hasil pemilu, penyelenggara juga dapat digugat ke pengadilan umum karena telah secara nyata melakukan tindak pidana pemilu dengan mengabaikan perintah pelaksanaan verifikasi faktual. Selain itu, penyelenggara pemilu (KPU dan seluruh strukturnya) juga akan disidang oleh DKPP karena dinilai melanggar Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku.