Oleh: Anis Matta
TRIBUNNEWS.COM - Kemenangan telak Viktor Orban di Hongaria menambah daftar pemimpin Kanan Jauh yang memegang tampuk kekuasaan di negara-negara Eropa.
Sebelumnya, partai baru populis Five Star Movement (M5S) menenangkan 30% suara dan menjadikannya kekuatan pengendali dalam sistem politik Italia.
M5S mengalahkan “old establishment” di Negeri Pizza itu, yaitu petahana Partai Demokrat yang sosialis dan partai pimpinan mogul media dan sepakbola Silvio Berlusconi, Forza Italia, yang berhaluan Kanan Tengah.
Eropa yang makin condong ke Kanan ini membuat posisi Uni Eropa (EU) terombang-ambing, karena isu nasionalisme, anti-imigran dan kekecewaan terhadap EU yang mendominasi selama kampanye.
Di Perancis, partai Kanan kalah oleh partai liberal-sentris La Republique En Marche! yang baru didirikan Emanuel Macron pada 2016.
Namun, sejak awal tahun ini approval rating Macron tergerus hingga di bawah 50% (Reuters). Kekecewaan publik Perancis terutama tertuju pada kegagalannya memenuhi janji kampanye.
Reformasi pasar tenaga kerja yang diklaim Macron untuk membuat negaranya lebih “pro-bisnis” dinilai publik membuat negeri itu menjadi pasar hiper-bebas.
Begitu juga dengan rencananya memodernisasi administrasi publik besar-besaran yang menyedot anggaran negara.
Angela Merkel dari Uni Kristen Demokrat (CDU) masih unggul di Jerman walau raihan suaranya menurun dari pemilu sebelumnya.
CDU adalah partai berhaluan Kanan Tengah namun dalam komunikasinya lebih bersikap menjadi “catch-all party”.
Jerman juga menyaksikan munculnya kekuatan Kanan yang merangsek menjadi peraih suara nomor tiga di parlemen, yaitu Alternative für Deutschland (AfD) yang lagi-lagi menyuarakan sentimen ultranasionalisme dan anti-imigran.
Kemenangan Orban memukul telak para pengkritiknya. Dikutip The Washington Post (5/4), Orban yakin bahwa Hongaria akan tenggelam dalam chaos jika menjadi “negeri imigran” seperti Perancis dan Belgia.
Kehadiran pengungsi yang menyedot anggaran negara akan memperlemah Hongaria dan Eropa pada umumnya dan meningkatkan risiko teror. Tak sekadar berucap, Orban membangun pagar kawat berduri di sepanjang perbatasan selatan negeri itu pada 2015.
Krisis Legitimasi
EU yang dibangun dengan semangat regionalisme dan bebasnya perpindahan orang, barang, dan kapital itu kini menghadapi resistensi dari para anggotanya sendiri. Para anggotanya, atau tepatnya sebagian rakyat di negara anggotanya, mulai merasa EU tidak memberi manfaat lebih dari “biaya” yang dikeluarkannya.
Hantaman pertama adalah krisis utang di Yunani yang merembet ke Portugal, Spanyol, Siprus hingga Italia.
Penyatuan mata uang itu membuat krisis di satu negara berakibat sistemik bagi kawasan. Ibarat satu lubang di bagian tertentu membuat satu kapal tenggelam.
Merkel yang pontang-panting mencoba menyelamatkan krisis Euro yang hampir berbarengan dengan banjir pengungsi malah mendapat caci-maki dari sebagian rakyatnya.
Suaranya yang menurun merupakan “hukuman” dari rakyat kepada Kanselir yang memasuki periode kepemimpinannya yang keempat itu.
Ganjalan terhadap eksistensi EU lainnya datang dari utara, yaitu Rusia dalam krisis Krimea di Ukraina. Wilayah ini memang menjalani sejarah yang mengharu-biru.
Pernah menjadi bagian imperium Ottoman pada 1400-an, Krimea kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Rusia, sejak masa kerajaan hingga periode Uni Soviet. Pada saat Uni Soviet bubar, Krimea sempat berharap menjadi negara independen, namun akhirnya menjadi bagian dari Ukraina.
Menyusul kerusuhan di Ukraina pada 2014 (yang oleh sebagian orang disebut Revolusi Martabat) hinga berujung kaburnya Presiden Victor Yanukoviych, Rusia menguasai Krimea dengan cara mendukung gerakan demonstrasi yang mengambil-alih parlemen.
Banyak pihak menuduh, kerusuhan tersebut merupakan buatan Rusia. Bagi EU dan banyak negara, krisis yang oleh banyak media Barat disebut aneksasi Rusia terhadap Krimea ini mengkhawatirkan karena Ukraina merupakan salah satu titik strategis secara geopolitik dengan EU.
Ia bersinggungan langsung dengan negara anggota EU eks-komunis seperti Rumania, Slovakia, atau Polandia. Selain itu, krisis Krimea dikhawatirkan menyuburkan separatisme di Eropa.
Hantaman terbesar tentu saja referendum yang menunjukkan rakyat Inggris memilih untuk keluar dari EU alias Brexit.
Terlepas dari dugaan rekayasa komunikasi via media sosial, public mood yang tertangkap saat itu adalah tergerusnya rasa berdaulat dan deprivasi akibat terbukanya pasar tenaga kerja intra-EU. Sebagai salah satu negara makmur di Eropa, Inggris menjadi lampu terang yang menarik bagi laron-laron imigran.
Data 2016 menunjukkan bahwa dalam tiga tahun sejak 2013, Inggris ketambahan penduduk (imigrasi netto) sebesar 285.000 jiwa, atau sekitar 0.4% dari total populasi tiap tahun (Fortune).
Pendukung imigrasi berdalih imigran bermanfaat dalam memperluas basis pajak dan mempertahankan upah murah.
Namun, yang dirasakan rakyat adalah, pajak yang dengan susah payah dibayarkan malah dihabiskan untuk menyejahterakan orang asing. Sebagai gambaran, sejak 2016 Polandia menjadi etnis terbesar asal orang yang tidak lahir tapi hidup di Inggris, “mengalahkan” India.
Keseimbangan Baru
Melemahnya legitimasi EU berdampak pada perimbangan kekuatan (balance of power) dunia. Sanksi terhadap Rusia, baik yang bersifat diplomatik maupun ekonomi tidak terlalu digubris Presiden Rusia Vladimir Putin.
Sanksi diplomatik salah satunya ditunjukkan dengan mengubah pertemuan G8 di Sochi menjadi G7 di Brussel. Sanksi ekonomi dijalankan dengan melarang impor barang dari Krimea dan Sevastopol serta membatasi akses perusahaan Rusia ke pasar modal Eropa.
Di sisi lain Orban menjadi orang kuat baru di Eropa, terutama karena negara-negara Eropa Timur eks-Soviet tidak merasakan manfaat sebesar yang digembar-gemborkan ketika mereka bergabung dengan kapitalisme global, khususnya EU.
Semangat borderless globalisasi yang salah satunya dicerminkan dengan berdirinya EU semakin memudar. Sebaliknya, pagar-pagar perbatasan kini mulai ditegakkan lagi, baik secara fisik walaupun melalui kampanye militer.
Melemahnya Eropa terjadi seiring dengan menguatnya China dan Asia pada umumnya. Amerika Serikat pun kini condong ke Kanan sejak Donald Trump masuk Gedung Putih. Dunia akan berada dalam suatu ketidakpastian dan kemurungan yang panjang beriringan dengan acaman perang yang bisa terjadi setiap saat.
Pertanyaannya, mampukah EU menghadapi merebaknya sentimen Kanan Jauh yang juga dikenal sebagai “Eurosceptic?” Krisis Eropa ini terjadi pada dimensi ideologis sekaligus geopolitik.
Di sisi ideologi, melemahnya EU menunjukkan tertekuknya neoliberalisme berhadapan dengan kepentingan nasional yang partikular.
Mengalirnya uang, barang, dan orang ternyata lebih menguntungkan perusahaan multinasional yang menerapkan global supply chain dan menghilangkan keunggulan komparatif negara. Negara hanya menjadi sekrup dalam mesin produksi raksasa tingkat dunia.
Dalam konteks hubungan internasional, sampai sekarang EU adalah organisasi kawasan yang paling besar dan kuat dibanding organisasi sejenis seperti ASEAN dan NAFTA. Sebagian menganggap EU adalah super-state karena memiliki parlemen, bank sentral, dan mata uang (sebagian).
Namun, EU sedang mengalami pelemahan pada inti eksistensinya, yaitu krisis semangat regionalisme. Karena itu, EU harus mencari relevansi baru dan menempatkan manfaat bagi negara-negara anggota di atas kepentingan aktor-aktor neoliberal.
Walaupun mungkin susah dibayangkan, tapi dunia tanpa EU adalah dunia yang makin terfragmentasi serta rentan terhadap konflik terbuka dan menyebar.
Anis Matta: Pengamat Politik Internasional