Penulis: Koalisi Masyarakat Sipil Alam Lestari
KOALISI Masyarakat Sipil Alam Lestari mengadakan aksi teatrikal dengan tema “Jaga Ibu Bumi: Stop Sampah Plastik, Stop Sampah Politik”.
Kegiatan ini dalam rangka memperingati Hari Bumi Internasional, 22 April.
Aksi ini mencerminkan bentuk kemarahan penghuni bumi, khususnya di Indonesia atas tindakan segelintir elit tidak bertanggung jawab yang menjadikan alam sebagai komoditas.
Praktik menempatkan alam sebagai komoditas telah menempatkan masa depan ratusan juta orang Indonesia dalam situasi terancam.
Komodifikasi alam melahirkan kontestasi perebutan kuasa yang masih mewarnai proses politik elektoral.
Pemilu di Indonesia masih merupakan ajang obral lisensi pengrusakan alam, bukan kontestasi demokrasi sesungguhnya; untuk kemaslahatan orang banyak.
Baca: Hendak Jemput Keluarga, Albinus Malah Dikeroyok Sejumlah Sopir Taksi Bandara
Jargon "Stop Sampah Plastik, Stop Sampah Politik" diartikan sebagai perumpamaan di mana plastik yang kita gunakan dalam hitungan menit akan berdampak panjang pada lingkungan.
Hal ini serupa dengan proses Pemilihan Kepala Daerah yang akan diselenggarakan secara serentak di 171 wilayah di Indonesia, pada Juni mendatang.
Di bilik suara kita akan memilih pemimpin dalam hitungan menit, yang nantinya akan berpengaruh pada kebijakan lingkungan termasuk sumber daya alam yang juga akan berdampak pada bumi secara keseluruhan.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memilih orang yang dapat memastikan bahwa bumi dan seluruh isinya bukan komoditas, juga bukan 'lahan basah' untuk dikorupsi.
Sehingga proses Pilkada--baik dari tahapan kampanye yang sekarang tengah hingar bingar hingga saat kepala daerah tersebut menjabat--tidak menjadi sampah politik.
Baca: Kronologis Tenggelamnya Speedboat Rombongan Polres Labuhanbatu hingga Hilangnya Kompol Andi Chandra
Terlebih, tidak membuat korban semakin berada di posisi sulit, terutama mereka yang lemah atau miskin.
Koalisi menilai, setidaknya ada tiga permasalahan utama dalam pengelolaan lingkungan atau sumber daya alam.
Pertama, masih terdapat sejumlah kebijakan yang tidak menjawab kebutuhan rakyat atau bahkan kebijakan lingkungan--terutama yang mengatasnamakan pembangunan-- yang berdampak buruk pada kelestarian lingkungan, malah cenderung merugikan.
Peraturan Menteri ESDM 11/2018 adalah salah satu contohnya.
Alih-alih menyederhanakan izin usaha pertambangan, Permen ini malah memperkecil keterlibatan publik untuk terlibat dalam mengawasi penetapan wilayah izin usaha pertambangan.
Kedua, masih tingginya angka kriminalisasi berupa ancaman dan intimidasi terhadap para pejuang lingkungan dan agraria alias para penjaga bumi.
Sebut saja seperti yang dialami oleh Budi Prego yang menolak tambang di Tumpang Pitu, Basuki Wasis, ahli yang membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menghitung kerugian ekologis/lingkungan dalam kasus korupsi Nur Alam.
Baca: Pencarian Kompol Andi Chandra Dilanjutkan Pagi Ini
Atas kesaksiannya sebagai ahli tersebut malah digugat perdata oleh Nur Alam (terpidana korupsi).
Dan Ketiga, akibat dari korupsi sumber daya alam, sangat mengerikan.
Tidak hanya hilangnya kekayaan alam dan potensi penerimaan Negara, tetapi juga mengakibatkan kerusakan ekologis/linkungan yang nilainya mencapai triliunan rupiah setiap kasusnya.
Sampai saat ini korupsi di sektor sumber daya alam masih merajalela, dengan salah satu bentuk yang paling populer adalah suap dalam pemberian izin.
Terkait permasalahan itu, Koalisi Masyarakat Sipil Alam Lestari mengajukan 6 tuntutan untuk menjaga bumi:
1. Seluruh pihak yang terlibat sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada Serentak untuk tidak menjadikan alam sebagai komoditas politik dalam Pilkada serentak 2018.
2. Pemerintah, baik pusat dan daerah menghentikan kebijakan yang berbau lingkungan, tetapi sebenarnya tidak pro lingkungan. Kebijakan ini dalam praktiknya merampas ruang hidup rakyat.
3. Pemerintah, baik pusat dan daerah menghentikan kebijakan yang tidak menjawab kebutuhan rakyat, seperti reklamasi pantai, izin konsesi pertambangan dan perkebunan besar, swastanisasi sektor publik yang penting (air, pangan, kesehatan, Pendidikan) dan berbagai kebijakan lainnya.
4. Pemerintah harus menjalankan keputusan pengadilan terhadap kasus-kasus gugatan masyarakat atas pengelolaan SDA dan Agraria.
5. Meminta kepada seluruh pihak untuk menghentikan upaya kriminalisasi atau ancaman terhadap pejuang lingkungan dan agraria.
6. Audit segera kerugian negara akibat kebijakan dan proyek yang merusak alam.